Senin, 31 Mei 2010

In Memoriam Ramdan "Putra" Aldil Saputra (3)


Tatapan Matanya Memaksa Dokter Tak Menyerah

Putra alias Ramdan sangat menyukai lagu Jangan Menyerah-nya d'Masiv. Dia memang tak pernah menyerah. Istimewanya, dia juga mengajak semua dokter dan perawat untuk tidak menyerah. Caranya? Inilah catatan wartawan Jawa Pos NANY WIJAYA yang mendampinginya sejak menjelang operasi hingga sepekan sebelum Ramdan meninggal.

---

SUASANA ICU di lantai 2 Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSUD dr Soetomo, Surabaya, itu kini kembali seperti semula. Itu terlihat sejak 25 Mei lalu atau dua hari setelah Putra alias Ramdan Aldil Saputra meninggal.

Sejak tanggal tersebut, tak ada lagi dokter atau perawat ICU yang kebagian tugas jaga khusus di ruang isolasi khusus di pengujung ICU, dekat jalan menuju ICU bayi (NICU). Sebab, sejak 23 Mei lalu pasien khusus yang memerlukan penjagaan khusus di ruang itu, Ramdan Aldil Saputra alias Slamet Hadi Saputra, telah tiada.

Setelah mengalami masa superkrisis selama kurang lebih 3,5 jam, pada sekitar pukul 04.55 WIB, 23 Mei 2010, bocah hebat berumur 3,5 tahun tersebut mengembuskan napas terakhir. Menyerahkah dia kepada penyakitnya? Atau, dia sudah tidak tahan lagi dengan siksaan rasa sakitnya? Tidak. Saya yakin, anak guru asal Trenggalek tersebut tidak menyerah.

Dia memang bukan tipe anak yang mudah menyerah. Meski tidak bisa bicara, Ramdan bisa menggunakan tatapan matanya untuk mengajak para dokter dan perawat sehingga tidak menyerah dengan kondisinya. Dia ingin hidup sehat, itulah yang membuatnya tak pernah menyerah.

Kalau mau menyerah, barangkali dia sudah meninggal empat hari setelah operasi transplantasi dulu. Yakni, ketika otak kanan depannya mengalami perdarahan hebat. Ketika itu terjadi, konsultan ICU dari Oriental Organ Transplant Center (OOTC), dr Wang Yu, dan rekannya, Deputi Direktur Ellen Wei, sudah memperkirakan akan kehilangan dia.

Dia mungkin juga sudah meninggal, seperti yang saya dan tim dokter serta perawat takutkan, ketika menjalani pembedahan otak kedua sehari setelah operasi otak pertama. Ada beberapa masa kritis luar biasa yang harus dia lalui dalam sebulan itu. Perjuangan Ramdan untuk hidup memang sangat luar biasa. Kemauan hidupnya juga tak kalah hebat.

Kalau bukan karena kemauan hidup yang luar biasa, tak mungkin dia bisa bertahan ketika mengalami perdarahan hebat pada 6 Mei lalu. Tepatnya, kala dia mengalami perdarahan usus yang amat hebat, yakni lebih dari 16 liter. Padahal, total darah bocah seberat 10 kilogram seperti dia tak lebih dari 0,8 liter (800 cc) atau 80 cc per 1 kilogram berat badan. Orang dewasa pun tak akan sanggup bertahan dalam kondisi tersebut.

Berdasar sisi medis maupun akal sehat, sulit rasanya membayangkan bagaimana bocah sekecil Ramdan bisa bertahan untuk melawan kondisi kesehatan yang begitu buruk. Hebatnya lagi, dia tak pernah menunjukkan wajah sebagaimana seorang yang sakit berat.

Sesekali, wajahnya tampak seperti seorang yang sakit. Tetapi, itu tidak lama dan tidak seperti seorang yang sakit parah. Sesekali juga matanya sayu. Tetapi, itu juga tidak lama. Bahkan, dalam keadaan yang paling parah, dia masih tersenyum, bercanda, dan bergaya setiap kali melihat kamera saya. Itulah Ramdan, yang lantas akrab dengan panggilan Putra, sesuai dengan nama barunya.

Siapa pun yang pernah merawat atau bertemu dengannya, tak terkecuali para wartawan, pasti jatuh cinta, selalu terkenang, dan tak bisa melupakannya. Karena itu, setiap kali bertukar kabar tentang Putra, kami yang tergabung dalam tim liver transplant RSUD dr Soetomo (RSDS) hampir tak pernah menggunakan kata Putra atau Ramdan sebelum dia berganti nama. Kami selalu memanggilnya dengan anak kita, bayi kita, anakku, bayiku, putraku, atau Ramdan-ku. Sebutan itu juga digunakan oleh Direktur RSDS Dr dr Slamet Riyadi Yuwono DTM&H MARS.

Sejak awal, kami semua tahu bahwa Putra belum bisa berbicara. Tetapi, kami semua tak pernah memperlakukannya sebagai bayi yang belum mengerti apa-apa. Kami selalu mengajaknya bicara, seakan dia orang dewasa yang paham akan maksud kami. Dokter dan perawat juga selalu mengomunikasikan semua tindakan medis yang bakal dilakukan kepadanya. Dari sikapnya, kami tahu bahwa dia paham terhadap apa yang kami lakukan. Contohnya, dia berontak karena ingin melepas tangannya yang diikat di ranjang.

"Jangan ditarik-tarik, Nak. Nanti tanganmu sakit. Tanganmu capek, ya? Pengin gerak, ya? Kupanjangkan ya talinya," kata konsultan ICU dr Arie Utariani SpAn (KIC) pada hari pertama Putra sadar dari pengaruh bius operasi transplan itu. Seperti paham akan kalimat tersebut, Putra lantas berhenti menarik tangannya dan menatap dr Arie dengan penuh harap.

Dua minggu kemudian, ketika luka operasi di kepalanya sudah nyaris kering, dia mengangkat lengan kanannya ke kepala untuk menggaruk luka yang masih dibalut perban itu. Konsultan ICU dr Philia Setiawan SpAn (KIC) yang kala itu berdiri di sebelah kirinya bilang, "Kenapa, Ramdan? Gatal, ya?"

"Tolong, kau gosok-gosok perbannya," pinta dr Philia kepada seorang dokter calon spesialis anestesi yang saat itu berada di dekat kepala Putra. Mendengar itu, Putra lantas menurunkan tangannya. Dia mulai menggaruk bagian lehernya yang tertutup "kalung" perban untuk tracheostomy (alat yang dijahitkan ke lehernya guna memudahkan pemasangan alat bantu napas atau ventilator).

"Yang itu juga gatal? Jangan digaruk sendiri, ya, nanti luka," kata ibu dua anak tersebut kepada Putra. Yang diajak bicara berhenti menggaruk, melirik Philia dengan mata bolanya. Lalu, secepat Philia mengatakan, "Mas, tolong, lehernya itu juga digarukkan pelan-pelan," pandangan Putra langsung bergeser ke wajah si calon spesialis, seakan memerintahkan hal sama. Itulah Putra alias Ramdan.

Suatu malam, di puncak perdarahan dan setelah pemeriksaan endoskopi (untuk melihat bagian dalam lambung sampai bagian atas usus) maupun kolonoskopi (untuk melihat bagian dalam usus) tak berhasil menemukan sumber perdarahan, tim dokter memutuskan untuk melakukan arteriografi (pemeriksaan radiologi untuk melihat pembuluh darah) yang mengakibatkan perdarahan hebat di usus Putra.

Menjelang didorong ke ruang arteriografi di lantai 1 GBPT, Putra melek dan mulutnya berdecak-decak, minta minum. Oleh dr Arie, dia diberi sedikit air putih dalam botol. Sepanjang jalan menuju ke ruang arteriografi, tempat dr Hartono dan dr Cindy sudah menunggu, Putra tak mau melepaskan botol itu. Ketika dr Arie memaksa mencabut botol yang sudah nyaris kosong tersebut dari mulutnya, Putra marah dan mewek (merengek). Karena kasihan, dr Arie mengembalikan botol itu ke mulut Putra lagi.

Saat Putra akan dipindah ke meja arteriografi, botol tersebut dicabut lagi oleh dr Arie. Kali ini Putra melawan dengan tetap menggigitnya sehingga botol itu tetap tegak di atas mulutnya, tanpa dipegang. Baru setelah diberi tahu, "Botolnya ditaruh dulu, Nak ya. Nanti, setelah difoto pembuluh darahnya, Putra boleh ngedot lagi," dia mau melepas botol tersebut.

Sayang, setelah arteriografi, dia ternyata harus segera dibawa ke kamar operasi untuk menutup kebocoran arteri di bagian tengah usus halusnya. Arteri tersebut bocor dan mengakibatkan perdarahan hebat itu. Jadi, ya dia tidak bisa ngedot dulu.

Selain senang ngedot, Putra sangat menyukai musik. Karena itu, saya minta Ari dari bagian umum Jawa Pos membelikannya MP3. Juga, langsung mengisinya dengan suara azan yang disukai Putra serta beberapa lagu Indonesia yang nada dan syairnya menyerupai dua lagu d'Masiv, yakni Jangan Menyerah dan Rindu Setengah Mati.

Sebelum itu, dia biasa mendengar dua lagu tersebut dari HP saya. Tetapi, setelah itu, saya putarkan yang ada di MP3. Saya sengaja minta MP3 yang ringan supaya dia bisa memegang sendiri.

Ternyata, MP3 baru yang sudah dia pegang itu dilepaskan hingga nyaris jatuh dari ranjangnya. Setelah matanya mencari-cari, tangannya lantas menggapai HP E71 saya yang kebetulan berwarna merah, dengan gantungan boneka Mr Bean yang sewarna. Sehingga, dokter yang jaga ketika itu berkomentar, "Tahu barang mahal juga kau, Dik." Harga MP3 itu pasti jauh lebih murah daripada HP saya.

Tapi, itu bukan satu-satunya kenangan indah yang sulit dilupakan tentang Putra. Karena itu, pada 26 Mei lalu, sepulang dari AS, paginya saya langung ke ruang isolasi tersebut dengan ditemani ahli bedah yang menangani pengambilan limpa dan transplantasi liver Putra, dr Poerwadi SpB SpBA. Saya sekadar ingin mengobati rasa kehilangan dan sedih saya yang tidak sempat mengucapkan "selamat tinggal" kepada Putra.

Ternyata, rasa kehilangan itu terasa semakin dalam saat saya membuka pintu luarnya. Saya lihat, ruang tersebut sudah sepi dan lapang. Tiang gantungan baju steril juga sudah tak ada di situ. Dua meja yang bagian atas dan laci-lacinya dulu penuh dengan spet, obat suntik, penutup kepala, masker, alat steril portabel, dan keperluan pengobatan Putra juga bersih. Yang ada di atasnya hanya satu kontainer plastik kecil berisi dua botol bening bertutup biru dan kuning tanpa dot yang sudah disterilkan. Botol-botol itu milik Putra.

Bangku-bangku kecil yang biasa digunakan oleh para dokter jaga untuk duduk sambil mengetik laporan tentang perkembangan Putra selama 24 jam juga tidak ada lagi. Bahkan, sandal-sandal steril di rak yang ada di pojoknya juga sudah tak ada.

Dulu, kalau masuk bilik itu, semua harus menggunakan sandal tersebut. Sedikit saja keluar dari ruang isolasi, sandal atau baju steril itu harus dikeluarkan untuk disterilkan ulang. Sebaliknya juga, pakaian dan sandal steril dari luar bilik tersebut tak boleh dibawa masuk.

Ruang kecil yang memiliki dua kamar khusus bertekanan udara positif itu punya aturan sendiri memang, seperti juga para petugasnya. Tak semua dokter dan perawat "beruntung" kebagian tugas jaga di tempat itu. "Semua mainannya kami simpan di lemari sendiri. TV, DVD player, dan CD-CD-nya juga kami simpan," ungkap perawat ICU, Ainur, yang mengantar saya masuk.

Tanpa cuci tangan atau mensterilkan tangan dengan alhokol gliserin, saya masuk ke kamar lama Putra di dekat pintu masuk. Di situ saya lihat bantal kecilnya tergolek rapi. Saya tidak tanya di mana guling berkepala boneka dan bantalnya yang lain disimpan. Saya elus bantal itu, seakan dia masih menidurinya. Air mata saya mendadak mengucur.

Saya kemudian melangkah ke kamar sebelah, kamar terakhirnya. Dulu, setelah livernya dipotong, Ny Sulistyowati menempati kamar tersebut. Saya lihat, kasur udara yang baru saya beli sehari sebelum saya ke New York terhampar di situ.

Kamar kedua itu juga sudah bersih. Lampunya pun sudah tak lagi menyala. Kabel-kabel dan alat-alat yang dulu memenuhi kiri kanan ranjang Putra sudah tak ada lagi.

Air mata saya semakin deras mengalir. Saya coba menahannya dengan menggigit bibir, tapi tak berhasil. Terbayang lagi wajah dan ekspresinya setiap kali saya potret atau saya panggil, "Putra...! Sayang...!" setiap kali saya masuk ke kamarnya.

Saya coba mengusir bayangan itu dengan mengalihkan pandangan dari ranjangnya. Juga tak berhasil. Air mata saya semakin deras. Apalagi, bayangan wajah Putra pada hari-hari dia kritis muncul. Dulu, setiap dia mengalami masa kritis, saya selalu mengelus tangan atau pipinya sambil berbisik ke telinganya, "Jangan menyerah, Nak ya! Kau tidak boleh menyerah! Kau pasti menang! Bilang, Nak: Ya Allah, sembuhkan aku! Aku ingin sekolah!"

Saya dan dr Arie biasa membisikkan kata, "Jangan menyerah, Nak ya!" Sedangkan dr Philia biasa mengatakan, "Ramdan, jangan menyerah, ya!" sambil mengelus-elus pipinya. Kami bertiga adalah orang yang selalu ada di sampingnya, terutama saat dia kritis. Pagi, siang, maupun tengah malam dan dini hari.

Jangan Menyerah adalah judul lagu d'Masiv yang sangat disukai Putra. Matanya suka berputar mencari-cari sumber suara ketika lagu itu diputar. Saya tidak tahu bagaimana awal anak tersebut menyukai lagu itu. Saya tahu tentang hal itu dari ibundanya, Ny Sulistyowati.

Syair lagu tersebut memang sangat membangkitkan semangat untuk berjuang. Bukan hanya pada Putra, tetapi juga tim dokter. Sebab, kami percaya bahwa lirik lagu itu benar. Perhatikan saja refrain-nya.

Tuhan pasti kan menunjukkan

Kebesaran dan kuasa-Nya

Bagi hamba-Nya yang sabar

Dan tak kenal putus asa

Tim dokter, lab, radiologi, dan farmasi serta para perawat memang tak pernah lelah, apalagi putus asa dalam mengupayakan kesembuhan Putra. Lalu, di pengujung upaya kami, selalu saja ada jalan keluar. (bersambung/c11/iro)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar