Jumat, 30 April 2010

Mimpi Buruk di Tanjung Priok (1)

Berawal dari rencana pembebasan lahan, akhirnya meledaklah kericuhan antara warga Koja dan Satpol PP. Perang batu, baku pukul, seret-menyeret, hingga membakar benda-benda yang ada di sekitarnya, tak terelakkan lagi. Puluhan korban luka parah, bahkan ada pula yang harus meregang nyawa. Inilah ungkapan kesedihan keluarga korban.
Airmata Aida Priyanti (23) rasanya kering sudah. Saat teman-temannya datang mengungkapkan belasungkawa di rumahnya di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta, bolak-balik ia berkata, “Gue batal kawin sama Bang Doden. Lihat, dia tampan, kan?” katanya sambil menunjukkan foto Ahmad Tajudin (26). Foto Ahmad Tajudin alias Doden itu terlihat lusuh tertekuk karena disimpan di dompetnya.
Doden adalah salah satu anggota Satpol PP yang tewas dalam bentrokan antara petugas dan massa di kawasan Koja, Tanjung Priok, Rabu (14/4). “Sampai sekarang rasanya masih tidak percaya dia sudah tidak ada,” kata Aida.
Mimpi-mimpi indah Aida dan sang kekasih pun sirna. Sebenarnya, Aida yang sudah empat tahun berpacaran dengan Doden, berencana menikah 10 Oktober tahun ini. “Dia juga sudah menyiapkan rumah, enggak jauh dari rumah orangtuanya,” lanjut Aida sendu.
Sebagian dana membangun rumah, kata Aida, adalah hasil tabungan Doden. “Bang Doden sering bilang, saya enggak boleh terlalu serring nonton. Katanya, mendingan uangnya ditabung buat bikin rumah dan untuk kawinan.”
Apa mau dikata, impian indah itu tak jadi kenyataan. “Masih kebayang, hari itu dia sempat pamit. Katanya ada tugas bongkar bangunan ilegal. Bukan bongkar makam. Saya cuma pesan agar dia hati-hati, jangan nyakitin orang.”
Kalung Jodoh
Meski Doden sudah sering bertugas menertibkan bangunan, entah
Aida menunjukkan kalung kenangan hadiah dari kekasihnya, Doden. (Foto: Henry Ismono/NOVA)
kenapa karyawati Sudin Kebersihan ini gelisah. Sekitar jam 01.30, ia menelepon Doden.
“Dia cerita, tangan kanannya sakit. Batin saya, mungkin tangannya kena pukul.” Itulah komunikasi terakhirnya dengan sang pujaan hati. “Setelah itu, HP nya ada nada dering tapi enggak diangkat.”
Sore hari, berita duka pun sampai ke telinga Aida lewat teman Doden. “Dia cuma bilang, Doden dapat musibah dan dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo.” Bersama saudara lelaki dan perempuannya, Aida pun menuju rumah sakit. “Sepanjang jalan saya nangis terus.” Tangisan itu pun berubah menjadi jeritan histeris ketika ia mendapati Doden sudah tak bernyawa.
(Bersambung)
Henry, Sukrisna
sumber : www.tabloidnova.com

Sayap Pesawat Melibas, Mereka Pun Tewas (2)

Akan halnya Teeza, ia terpaksa harus kehilangan kakinya. Pria yang tumbuh di lingkungan keluarga penerbang itu adalah taruna penerbangan angkatan 59 STPI dan lulus tahun 2007. Dua tahun kemudian, Teeza diangkat menjadi instruktur dan rencananya Sabtu (24/4) merupakan hari pertamanya bergabung dengan maskapai penerbangan Air Asia. Pada Sabtu itu pula, Teeza akan mengikuti pelatihan sebagai co-pilot.
Amputasi dilakukan karena infeksi pada luka di kakinya sudah menjalar ke bagian atas dan mencapai bagian paha. Sebagian paha Teeza sudah berwarna kehitaman. Demi menyelamatkan nyawanya dan mencegah infeksi menjalar ke mana-mana, kakinya harus diamputasi. Itu adalah operasi yang kedua sejak Teeza dilarikan ke rumah sakit. Operasi pertama dilakukan selama 12 jam untuk menyambung pembuluh darah yang rusak di kakinya akibat kecelakaan itu.
Operasi itu dilakukan (Selasa, 20/4), sang ibu, Endang P. Arie Moekmin, sempat panik karena harus mencari donor darah yang sesuai dengan darah putranya. Beruntung beberapa rekan Teeza sigap membantu. Sebelum masuk ke ruang operasi, Arie dan suaminya bergantian menciumi wajah Teeza yang masih tak sadarkan diri sambil membisikkan sesuatu.
Pascaoperasi, kondisi kedua pilot pesawat latih yang dirawat di ruang Intensive Unit Care (ICU) RS Siloam Karawaci itu masih kritis. “Keduanya masih dibantu alat pernapasan. Sekarang kami fokus pada penanganan dan belum bisa meramalkan kapan mereka sadar,” kata dr. Mangantar Marpaung, Wakil Direktur Medik, RS Siloam Karawaci.
Kini, setelah peristiwa maut itu terjadi, keamanan di Bandara Budiarto ditingkatkan. “Latihan tetap berjalan seperti biasa,” kata kepala STPI, Darwis Amini. Ia sangat menyayangkan, pengelola bandara membiarkan warga sekitar kerap mengambil jalan pintas di landasan pacu yang jelas-jelas amat berbahaya bagi keselamatan mereka. Sayangnya, pihak pengelola bandara belum bisa dimintai keterangan.
Sita Dewi
sumber : www.tabloidnova.com 

Sayap Pesawat Melibas, Mereka Pun Tewas (1)

Gara-gara nekat melintasi landasan pacu pesawat di Bandara Budiarto (Curug-Tangerang) dua pemuda tewas seketika. Motor yang mereka kendarai tersenggol sayap pesawat latih yang hendak mendarat.
“Yopiiiiiii!! Piiii!!” Begitu berkali-kali teriakan pilu keluar dari mulut Puji (19). Sekejap kemudian, ia limbung. Begitu sadar, Puji kembali memanggil-manggil nama adik bungsunya itu. Yang dipanggil tak akan pernah menjawab karena sudah terbujur kaku.
Senin itu (19/4), Yopi Hermawan (16), salah satu dari dua korban tewas kecelakaan di bandara, tengah berboncengan motor dengan kawannya, Azzumar (23). Mereka diduga sedang melintas di landasan pacu ketika pesawat latih jenis Tobago TB-10 yang dipiloti taruna Jurusan Penerbang Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI), Sephazka Abdillah (19). Saat itu, Phazka bersama instrukturnya, Teeza Adiputra (23).
Ketika pesawat siap mendarat dengan kecepatan sekitar 300 km per jam, Yopi dan Azzumar melintas. Wussss... sayap pesawat pun menyenggol sepeda motor. Yopi dan Azzumar tewas di tempat.
Foto: Daniel Supriyono
Foto Model
Keluarga menyesalkan keputusan Yopi melintasi landasan pacu bandara. “Dia belum pernah ke sana sebelumnya,” kata ayah Yopi, Sahata (54). Senin pagi itu, Yopi baru pulang setelah menginap di rumah kakaknya. Di pintu pagar, Sahata yang hendak mengeluarkan motor berpapasan dengan Yopi yang juga membawa motor kakaknya. “Saya bilang, ‘Motor kamu keluar dulu, dong, Bapak enggak bisa keluar.’ Itu saja perbincangan terakhir kami,” kisah kepala SD itu lirih.
Selang dua jam, Sahata menerima telepon dari Puji. “Saya diminta datang ke Polsek terkait urusan Yopi. Saya pikir dia kecelakaan biasa.” Dugaan Sahata salah. “Di Polsek, saya diberi tahu, Yopi tewas dan berada di RSUD Tangerang. Lemaslah saya.”
Puji yang juga hadir di Polsek pun berkali-kali pingsan. Selama di Polsek, tak ada satu pun pihak bandara atau STPI yang datang memberi keterangan kepada keluarga Yopi. Bahkan Nia sempat curiga, mengapa adiknya dibawa ke RSUD Tangerang sementara kedua pilot dilarikan ke RS Siloam Karawaci. Setelah menolak dilakukan otopsi dan polisi mengizinkan jenazah Yopi dibawa pulang, jasad Yopi dimandikan lalu dibawa pulang untuk kemudian dikebumikan petang harinya.
Foto: Daniel Supriyono
“Saya sudah sering bilang ke Yopi, jangan suka bawa motor. Nanti saja kalau sudah umur 17 tahun, jadi sudah punya KTP dan SIM,” kisah Sahata. “Kalau kakaknya kerja, mungkin peristiwa ini tidak akan terjadi. Senin itu Puji sedang libur kerja,” sesalnya.
Sedangkan ibunda Yopi, Uju (50), tak putus memuji anaknya. “Dia suka berfoto. Kemarin ini fotonya baru dimuat di koran lokal. Dia memang suka sekali bergaya. Banyak yang meledek dia sebagai foto model koran. Yopi memang bercita-cita bisa nampang di majalah sebagai foto model beneran.” Keluarga menduga, Yopi ke kawasan bandara Budiarto hari itu untuk mencari lokasi pemotretan.
Yopi, lanjut Uju, juga manja. “Tidak boleh dikerasi. Makanya harus selalu dipanggil Aceng ( panggilan sayang). Kalau mandi paling lama. Sukanya bercermin dan foto-foto. Anakku memang ganteng bukan main,” puji sang bunda.
Tentang Azzumar, keluarga Yopi mengaku tak kenal. “Teman Yopi tidak banyak. Sama tetangga saja dia tidak akrab. Sebetulnya dia anak rumahan. Pulang sekolah, langsung masuk kamar.”
Sita Dewi/bersambung

8 Korban Perkosaan Dalam 3 Bulan: “Pedihnya Sampai ke Ulu Hati” (2)

Kisah Bocah Pemberani
Nasib Van (9) memang tak seburuk Sus. Gadis cilik berwajah manis ini tergolong anak pemberani sehingga luput dari aksi perkosaan. Alkisah, suatu siang belum lama ini, siswi SDN 26 Kompleks Perumnas Monang-Maning itu disapa seorang pria yang mengaku teman kepala sekolahnya. Saat itu Van baru tiba lagi di sekolahnya ntuk mengikuti les. “Dia minta diantar ke SDN 27. Saya percaya saja, enggak menyangka dia orang jahat,” kisah Van yang didampingi sang ayah, Bripka Pol. Siswanto (40) dan ibunya, Masrikan (39).
Jadilah Van dibonceng pria itu dengan motor. Ia diajak berputar-putar hingga sampai ke kawasan Peguyangan, 10 km dari rumah Van. Si cilik tetap tak curiga. Ketika hari mulai gelap, motor diarahkan ke sawah, lalu berhenti. Tiba-tiba saja, semua pakaian Van dilucuti kemudian ia dibaringkan di atas tumpukan jerami di hamparan sawah itu.
Beruntung Van gadis pemberani. Ia berusaha berteriak meski kemudian mulutnya dibekap. Tak hilang akal, Van menggigit tangan si pelaku. “Ini bekas kuku pelaku yang melukai wajahnya,” kata sang ayah ambil menunjukkan luka bekas goresan kuku di samping mata kanan Van. Oleh karena melawan, terjadilah pergulatan. Di saat berguling-guling itu, tangan Van berhasil meraih sandal yang kemudian ia layangkan beberapa kali ke wajah pelaku.
Entah karena gentar mendapat perlawanan sengit, si pelaku kemudian mengurungkan niat busuknya dan bergegas menuntun motornya kemudian pergi. “Meski pelaku sudah pergi, Van belum berani meninggalkan lokasi. Van duduk saja sendirian di tengah sawah,” kisah Masrikan, sang ibu. beberapa waktu setelah yakin penjahat itu pergi, Van pun berjalan ke jalan raya dan bertemu seorang wanita yang kemudian membantu melaporkan kejadian itu ke polisi.
Kendati bersyukur anaknya lolos dari kejahatan seksual, Siswanto tetap geram dengan sikap petugas yang belum juga berhasil mengungkap kejahatan yang terus membayang-bayangi anak-anak di Bali tersebut. “Harus minta berapa korban lagi baru pelaku bisa tertangkap?” kata Siswanto dengan nada tinggi. “Saya juga petugas yang pernah cukup lama di Serse, jadi tahulah cara kerja anggota dan faktor kesulitan setiap kasus,” ujarnya sengit.
Kegeraman Siswanto agaknya bisa sedikit terobati. Seorang pelaku pemerkosaaan bocah SD di Bali, Sal (28) dibekuk polisi. Polisi masih memburu pelaku lainnya. Kamis sore (23/4), polisi berhasil membekuk salah satu tersangka pelaku. “Ini 100 persen pelaku pemerkosaan, namun masih kami kembangkan lagi,” kata Kapolda Bali Irjen Polisi Sutisna dan Kapoltabes Denpasar, Kombes Polisi Gde Alit Widana. Tersangka pelaku, Sal, adalah salah satu pemerkosa bocah SD di kawasan Pulau Moyo, Denpasar. Saat itu, korban yang berusia 9 tahun itu tengah asyik bermain di depan rumah lalu didatangi pelaku yang menyamar sebagai tamu.
GANDHI
sumber : www.tabloidnova.com 

8 Korban Perkosaan Dalam 3 Bulan: “Pedihnya Sampai ke Ulu Hati” (1)

Empat bocah perempuan jadi korban perkosaan. Pelakunya diduga sama. Empat lainnya juga digagahi dengan cara tidak manusiawi. Masyarakat Bali pun jadi merasa tak aman ­apalagi ­nyaman.
Air mata Fatimah (37) memang sudah tak mengalir deras, namun wajahnya menyimpan kepedihan mendalam ketika mengisahkan kembali kejadian yang menimpa Sus (10), anak sulungnya yang menjadi salah satu korban pemerkosaan yang belakangan ini marak terjadi di Denpasar, Bali. “Kepedihan yang saya alami ini ibaratnya sampai menghujam ke ulu hati,” katanya saat ditemui di rumahnya, Kompleks Perumnas Monang-Maning, Denpasar.
Pagi itu (Senin 29/3), Sus seperti biasa pamitan ke sekolahnya, Madrasah Ibtidaiyah (MI) Quba’. Jaraknya hanya sekitar 500 meter dari rumahnya. Gadis kurus berwajah manis ini tak menyangka, ia tengah diincar seorang penjahat. Seperti pengakuan Sus kepada Fatimah, saat ia baru berjalan puluhan meter dari rumahnya, tiba-tiba dari arah belakang dipepet seorang pria bermotor bebek hitam. Ia memakai helm tertutup dan langsung menggamit tangan Sus dan mendudukkannya ke jok motor. “Diam saja, aku teman bapakmu!” katanya sambil menancap gas motornya.
Sus yang ketakutan hanya terdiam ketika pelaku mengajaknya berjalan berkeliling ke beberapa tempat. Sekitar setengah jam kemudian, motor diarahkan ke semak-semak, sekitar 100 meter dari jalan raya. Sepertinya lokasi itu sebelumnya sudah diincar pelaku, sebab menurut pengakuan Sus, di antara semak-semak itu terdapat sebuah papan sebagai alas.
Si pria mematikan motor lalu menarik tubuh kurus Sus. Celana dalam Sus dilepas paksa, sementara pakaian yang lain tidak. Sebenarnya Sus yang agak pendiam itu mencoba sedikit melawan, tapi kemudian ciut karena diancam. “Kamu sayang nyawa atau minta mati?!” hardik si lelaki.
Sus yang malang hanya bisa mengigigil ketakutan ketika si lelaki itu melampiaskan nafsu bejatnya. Setelah itu, ia bergegas pergi dengan motornya dan meninggalkan Sus yang tergeletak tak berdaya. “Waktu saya mendengar pengakuan Sus, rasanya hati saya diris-iris,” ucap Fatimah dengan air mata bercucuran.
Total 25 Jahitan
Sus akhirnya mampu berjalan ke pinggir jalan raya dan melihat TK Widya Mandala. Sambil menahan sakit, ia masuk ke kamar kecil di TK itu untuk membersihkan darah yang masih terus mengucur dari alat vitalnya, lalu duduk di pinggir jalanan. Beruntung ada sepasang suami-istri yang kemudian menolongnya. Mereka curiga melihat Sus ketakutan dan roknya dibasahi darah segar. “Sus dibawa ke bidan dekat situ, diperiksa. Mereka lalu melapor polisi dan anak saya dibawa ke rumah sakit. Hati saya rasanya seperti copot ketika diberitahu petugas bahwa Sus jadi korban pemerkosaan,” ujar wanita asal Karangasem yang sehari-hari bekerja membantu mertuanya menerima jahitan itu.
Fatimah yang kala itu sedang tak sehat semakin lunglai setelah mendapat penjelasan betapa parahnya luka yang diderta Sus akibat pemerkosaan. “Sampai 25 jahitan. Hingga saat ini saya masih belum percaya, kok, anak saya jadi korban kebiadaban lelaki.”
Selama empat hari di rumah sakit, kondisi Sus yang bercita-cita ingin menjadi sarjana hukum ini masih memprihatinkan. Darah masih terus keluar dari alat vitalnya. Bocah ini juga menangis kesakitan setiap kali buang air kecil. “Sedih kalau dengar dia menangis kesakitan,” kata Fatimah.
Bisa Bunuh Diri
Yang menyedihkan, Sus bukanlah korban satu-satunya. Masih ada korban lain yang diketahui dan entah berapa banyak lagi yang tak diketahui karena tidak melapor. Yang pasti, seperti diutarakan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Indonesia Daerah (KPAID) Bali, dr. AA. Sri Wahyuni, SpKJ, kejadian pemerkosaan berturut-turut yang menimpa delapan anak di Bali menimbulkan keprihatinan sekaligus kekhawatiran yang mendalam. “Sebab, kejahatan ini mempunyai dampak yang luar biasa hebat baik bagi korban mapun keluarganya.”
Dampak itu, kata Sri yang berpraktik sebagai psikiater, bisa dalam bentuk jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek, si korban mengalami stres, takut bertemu banyak orang, murung, juga sulit tidur. “Kalau dampak jangka panjang, bisa depresi agresif maupun represif. Yang agresif, di kemudian hari dilampiaskan dengan suka mempermainkan lelaki atau bahkan menjerumuskan dirinya menjadi pekerja seks komersial (PSK). Kalau jenis represif, karena kejadian buruk itu dipendam sendiri, korban bisa terganggu jiwanya bahkan menjurus melakukan bunuh diri.”
Itu sebabnya, saran Sri, penanganan awal bagi korban perkosaan amat tepat jika dilakukan psikiater atau psikolog. “Kalau penanganan awalnya salah, bisa fatal akibatnya.” Belum lagi, dampak buat si orangtua dan keluarga. “Biasanya orangtua akan dihantui perasaan bersalah karena menganggap dirinya tidak bisa melindungi buah hatinya atau menyalahkan lingkungan yang dianggap tidak aman. Untuk itu diperlukan terapi keluarga.”
GANDHI M. WASONO/bersambung
sumber : www.tabloidnova.com 

Kamis, 22 April 2010

Ajang Cari Jodoh yang Tidak Patut

Oleh Nina Muthmainnah Armando

Saat berdiskusi di dalam kelas, sejumlah mahasiswa saya menyebutkan acara “Take Me Out” dan “Take Him Out” sebagai acara yang tidak pantas untuk tampil di layar kaca. Saya setuju dengan mereka, karena susah sekali untuk tidak merasa masygul saat menyaksikan kedua acara ini.

“Take Me Out” dan “Take Him Out” ditayangkan Indosiar tiap Jumat dan Minggu malam. Kedua acara yang dapat dikatakan kembar ini adalah program cari jodoh. Selain tampil dua kali seminggu, Indosiar menampilkan tayang-ulangnya dua kali seminggu pula.

“Take Me Out” lahir lebih dulu di Indosiar sejak pertengahan tahun ini. Belakangan, muncul versi lainnya, yakni “Take Him Out”. “Take Me Out” merupakan yang pertama ditayangkan di Asia, setelah acara sejenis konon meraih sukses di Denmark, Spanyol, dan Belanda.

Pada acara ini, tampil seorang pria atau wanita (yang disyaratkan lajang berusia 20-40 tahun) mencari pasangan. Calon pasangan mereka adalah lawan jenis berjumlah sekitar 30 orang yang berdiri berderet di balik meja berlampu.

Begitu tampil, si pria atau wanita ini akan memperkenalkan dirinya. Biasanya, yang disebutkan adalah nama, usia, agama yang dianut, sifat atau karakter menonjol yang ingin ditampilkan, dan profesi. Selanjutnya, ia pun akan dipilih oleh ke-30 lawan jenis tadi. Para pemilih itu akan menyatakan pilihannya dengan cara tetap menghidupkan lampu berwarna kuning di mejanya. Jika tidak memilih, mereka akan memencet tombol, dan lampu di meja akan berganti warna menjadi merah diiringi bunyi “plop!”. Artinya, lampu di meja mereka padam dan mereka ”tak ada hati” dengan peserta yang ditampilkan.

Pada tahap selanjutnya, jika masih ada meja berlampu yang menyala, si peserta diminta memperkenalkan dirinya lebih lanjut. Perkenalan itu ditampilkan melalui sebuah rekaman tentang kegiatan sehari-hari orang tersebut. Berdasarkan ini, seleksi pun dilakukan kembali oleh orang-orang di balik meja berlampu. Kalau mereka “sreg”, mereka tetap menyalakan lampu. Jika tidak, maka lampu pun padam. Begitulah sampai akhirnya terpilih satu orang yang “berminat” dengan si peserta tersebut.

Yang terjadi tidaklah selalu kisah sukses. Ada beberapa peserta yang sejak awal sudah “gugur”, tak dipilih oleh satu orang pun. Semua orang memadamkan lampu untuknya. Maka peserta seperti ini harus pulang dengan tangan hampa, tak mendapat pasangan.

Mengapa seorang peserta tidak dipilih? Para pemilih yang 30 orang itu bisa sangat blak-blakan mengemukakan pendapatnya. Misalnya, ia tak terpilih karena botak, karena tampak kekanak-kanakan, karena terlalu tinggi atau sebaliknya terlalu pendek, karena suaranya jelek, karena tampak tua, karena tampak “jadul” alias kuno, dan lain-lain.

Di sinilah acara ini membuat masygul. Komentar-komentar semacam itu sungguh tak nyaman untuk kita lihat dan dengar dilontarkan di ruang publik. Siaran TV itu disaksikan penonton yang sangat banyak. Apakah pantas, hal-hal yang sifatnya sangat pribadi itu semacam itu ditampilkan di depan banyak orang?

Apalagi, acara ini juga tampaknya semata-mata menilai orang untuk menjadi pasangan hanya dari segi penampilan fisik (ketampanan atau kecantikan) dan kemapanan. Perempuan yang terpilih adalah mereka yang umumnya cantik dan seksi. Sementara pria yang terpilih umumnya adalah mereka yang relatif tampan dan mapan.

Sebagai contoh, salah satu peserta perempuan yang sedari awal tak terpilih oleh 30 pria adalah seorang perawat yang berusia sekitar 30 tahun, kalah cantik dan seksi dibandingkan peserta lainnya. Wanita ini tampak sederhana dan tidak terlalu langsing. Ini tampak kontras dengan peserta lainnya dalam episode yang sama, yang lebih muda dan tampil sensual dengan melenggak-lenggokkan tubuhnya a la tari perut.

Contoh lain, seorang guru pria yang tampak sederhana (ia ‘hanya’ bermodalkan sepeda) ditolak oleh para wanita sejak awal. Setelah tampil beberapa menit saja di acara itu, ia pulang dengan tangan hampa. Tak ada seorang perempuan pun mau dengannya.

Acara ini memberi pelajaran yang buruk bagi kaum muda: kriteria memilih jodoh adalah semata-mata segi fisik dan kemapanan secara ekonomi. Jika wajah atau tubuh tak bagus, atau jika miskin, jangan harap bisa “laku”.

Apalagi, penolakan itu disaksikan oleh berjuta mata. Duh, di manakah kesantunan itu? Di manakah asas kepatutan itu? Di manakah hati nurani?

Memang, orang-orang yang tampil menjadi peserta adalah orang-orang yang siap dengan segala risiko, siap untuk dipermalukan atau ditolak. Namun tetap saja, karena disajikan di ruang publik, di hadapan banyak orang, maka kesantunan dan kepatutan adalah hal yang harus sangat diperhatikan oleh pembuat acara.

Apalagi, segala hal itu menjadi tampak “sah” dengan adanya komentar dari Ustadz Restu Sugiarto, seorang ustadz yang mendapat julukan “Ustadz Cinta”. Aduh ampuun…. Sang ustadz dengan menyitir istilah-istilah agama Islam atau bahasa Arab tampak membenarkan segala yang tampil, mendorong orang untuk mengenal pasangannya dengan lebih dekat, dan menasehati. Ustadz ini memang diposisikan sebagai “penasihat cinta”.

Ustadz Cinta muncul pada Ramadhan tahun ini dan terus berlanjut setelah Lebaran. Entah sampai kapan ustadz ini akan tampil. Sebelumnya, yang menjadi penasihat cinta adalah Meike Roose, seorang fortune teller.

Seorang mahasiswa saya di kelas menyebutkan acara ini, “Enggak banget… Konyol dan memalukan!” Tidak hanya itu, acara ini juga berpotensi memberikan dampak buruk bagi kaum muda yang tidak kritis, yakni pembelajaran yang buruk untuk mencari pasangan serta berbicara buruk tentang orang lain di hadapan orang-orang lain yang sesungguhnya tidak patut.

Jangan biarkan anak remaja Anda menjadikan acara ini sebagai acara favoritnya. Kalau toh menontonnya sekali-kali, saya sangat sarankan Anda memberi masukan kritis kepada anak Anda tentang acara ini sekaligus memberitahunya tentang bagaimana mencari jodoh yang benar serta norma-norma kepantasan dan kepatutan.
sumber ; majalah ummi Edisi : No.7 Tahun XXI | Rubrik: Media dan Kita

Selasa, 20 April 2010

Tidak ada relevansi antara pendidikan, karir, dengan kodrat kewanitaan

Kiprah Perempuan Masa Kini Pasca 106 Tahun Wafatnya RA Kartini

Sejak emansipasi wanita di negeri ini digaungkan RA Kartini sejak seratus enam tahun lalu, kesempatan bagi perempuan untuk meniti karir dan berkiprah, tak ada bedanya dengan kaum laki-laki. Sudah banyak perempuan bergelar doktor dan profesor, hingga menduduki posisi penting, baik di birokrasi, perusahaan, maupun bidang usaha lainnya. Salah satunya Profesor Endang Budi Trisusilowati. Siapa dia?

ELITA SITORINI, Jember

---

Pendidikan tinggi memang tidak hanya milik golongan tertentu. Semua orang di negeri ini, memiliki hak sama untuk mendapatkan. Apalagi, saat ini zaman sudah berubah. Akses pendidikan sangat mudah diraih.

Siapa saja yang berminat untuk mendapatkan pendidikan setinggi bintang di langit, bisa saja mengenyam pendidikan. Sehingga, tidak ada alasan lagi bagi generasi muda, khususnya perempuan untuk meraih pendidikan tinggi.

Hal itu sudah dibuktikan Profesor Endang Budi Trisusilowati. Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Jember yang pernah menjadi dekan di fakultas yang sama.

Selama ini, Prof Endang, begitu mahasiswa menyapanya, dikenal sebagai sosok yang tegas, memiliki banyak wawasan dalam bidang keilmuan, dan selalu menerapkan standar yang tinggi pada mahasiswanya.

Setiap mahasiswa yang menempuh mata kuliahnya, harus berupaya keras untuk mendapatkan nilai terbaik. Endang memang tidak mau main-main dalam urusan pendidikan. Dia berharap mahasiswanya tidak hanya sekadar mengerti mata kuliah yang dia berikan, namun juga memahami dan selalu berupaya menambah wawasan.

Diskusi-diskusi panjang dalam setiap konsultasi dengan mahasiswanya, menjadi bukti bahwa perempuan yang menempuh S-1 Pertanian di Unej ini, memberikan pelayanan yang maksimal. "Prof Endang selalu tuntas dalam setiap konsultasi. Semua hal dibahas, sehingga kami benar-benar mengerti," kata salah seorang mahasiswanya, yang baru keluar dari ruang kerjanya.

Dalam setiap konsultasi, Endang tidak asal memberi kritik, pertimbangan, maupun memberikan solusi. Semuanya selalu disertai dengan referensi yang jelas. Hal itu, sangat membantu mahasiswa, yang dia bimbing. Kecintaan Endang pada dunia pendidikan berawal dari lingkungan keluarganya.

Dilahirkan di sebuah keluarga dengan seorang ayah yang berprofesi sebagai seorang guru, Endang kecil terbiasa dengan kegiatan belajar dan mengajar.

"Ayah saya seorang guru dan sejak kecil, kami sekeluarga terbiasa belajar ilmu pengetahuan," katanya. Meski, di zaman dia bersekolah, Indonesia baru merdeka dan segala fasilitas masih sangat terbatas, Endang tidak pernah surut mencari ilmu.

Apalagi, dia juga mendapat dukungan dari keluarga untuk mencari ilmu setinggi mungkin. Tempaan hidup ditinggal sang ibu menghadap Tuhan, ketika duduk di bangku SMP, tidak membuatnya menyerah.

Bahkan, meski harus mengurus adik-adiknya, dia tetap memiliki kesempatan berorganisasi. "Ketika itu, saya masih belum sarjana, masih kuliah di sini (Unej). Tapi, ibu-ibu di sekitar rumah saya sudah mengikutsertakan saya sebagai pengurus PKK," kenangnya.

Memang bukan pengurus inti, namun kesempatan itu jelas memengaruhi cara berpikir dan wawasan hidup bermasyarakat. Termasuk mengajarinya menjadi pribadi yang tangguh, mampu beradaptasi, dan berkomunikasi dengan banyak orang yang memiliki beragam karakter.

"Saya senang berorganisasi, sejak SMP saya sudah masuk di organisasi kepemudaan. Bahkan, di zaman itu, anak SMP sudah mengikuti aktivitas perpolitikan," ceritanya.

Kesukaannya berorganisasi itu, dia lanjutkan hingga menjalani kuliah, baik di Unej, maupun di Institut Pertanian Bogor, ketika menyelesaikan gelar S-2 dan S-3. Bahkan, aktivitas sebagai dosen di Fakultas Pertanian, juga tidak menyurutkan semangatnya untuk aktif di berbagai organisasi.

"Sekarang ini sudah bukan zamannya perempuan hanya mengurus rumah tangga. Kalau urusan itu, harus dikerjakan bersama, antara suami dan istri," katanya. Kalau sampai saat ini masih ada yang berpikir seperti itu, maka kaum perempuan Indonesia tidak akan pernah maju. Karena hak untuk mendapatkan pendidikan itu milik siapa saja.

Apalagi, saat ini akses pendidikan cukup mudah diraih siapa saja. "Lihat saja di kampus-kampus, sekarang sudah banyak mahasiswinya. Malah lebih banyak daripada yang laki-laki," katanya.

Hal tersebut, kata dia, menjadi indikasi bahwa kaum perempuan dan masyarakat sudah menyadari pentingnya pendidikan bagi siapa saja. Terlepas dia laki-laki atau perempuan. Dan sudah bukan zamannya lagi mempermasalahkan kodrat sebagai wanita.

"Tidak ada relevansi antara pendidikan, karir, dengan kodrat kewanitaan. Menurut saya, kebanyakan wanita sudah menyadari meski mereka berpendidikan tinggi, memiliki karir yang maju, mereka tetap menikah dan punya anak. Jadi, kodrat wanita bukan alasan untuk tidak berpendidikan tinggi dan bekerja," jelas alumnus SMAN 1 Jember ini panjang lebar.

Justru, yang saat ini penting dilakukan, menurut dia, adalah meningkatkan kemampuan sikap dan perilaku mahasiswa atau yang biasa disebut soft skill. Sebab, jika hanya mengandalkan knowledge untuk sukses dalam hidup, dirasakan kurang mencukupi.

"Selain itu, jangan lupa life skill. Seperti kemampuan berbisnis, kemampuan di bidang seni, dan kemampuan lain di luar akademik," katanya. Dengan jalan itu, seorang sarjana akan semakin mantap menjalani hidup di masyarakat. (bersambung)
Sumber : Radar Jember, 20 April 2010

Selasa, 13 April 2010

Seni Lesung, Tradisi Leluhur yang Masih Eksis di Bondowoso

Peralatan Peninggalan Leluhur, Biasa untuk Sambut Tamu

Di beberapa tepat, seni lesung sudah mulai ditinggalkan atau bahkan sudah punah. Meski begitu, masih ada kelompok masyarakat yang peduli akan eksistensi seni lesung. Mereka, tetap memainkan seni lesung terutama jika ada kegiatan khusus.

Gugah Eko Saputro, Bondowoso

---

DI tengah cuaca yang cerah pagi itu sekelompok ibu-ibu di Kelurahan Sekarputih, Kecamatan Tegalampel, tengah menampilkan atraksinya. Para ibu yang tergabung dalam kelompok tetabuhan Seni Lesung atau yang dikenal dengan sebutan Seni Agutha (bahasa Madura) atau Khothekan (bahasa Jawa) itu terlihat kompak memukul bongkahan kayu (biasanya dipakai untuk tempat menumbuk padi) memakai alu  (penumbuk padi, Red).  Namun, pukulan itu terdengar asyik, merdu, dan rancak hingga membuat penonton, enjoy menikmati alunan musik itu.

"Ini tidak sembarang agutha atau kotheken," ujar Wiwik Winarno, 60, pemimpin seni lesung kepada RJ. Namun, kata Wiwik, bunyi-bunyian yang ditimbulkan dari pukulan alu dengan bongkahan kayu itu, mengikuti nada-nada lagu. Sehingga, menimbulkan bunyi bunyian yang merdu dan asyik untuk didengar. "Sebelum memukul memakai alu panjang ini, harus mengikuti aba-aba dari saya. Sehingga, pukulan alu menyesuaikan nada untuk mendendangkan sebuah lagu (instrumental)," ungkapnya yang bertindak sebagai konduktor.

Sedangkan, lagu-lagu yang diinstrumentalkan adalah Celeng Moguk, Ngunduh Asem, Talpek, dan lainnya. "Lagu-lagu instrumental itulah yang didendangkan dengan seni lesung ini," katanya.

Selanjutnya, Wiwik yang masih keturunan pembabat Bondowoso Ki Ronggo, itu mengungkapkan bahwa peralatan seni Lesung itu adalah peninggalan para leluhurnya. Dan, Wiwik menyatakan peralatan seni lesung miliknya ada tiga buah. "Peralatan ini peninggalan dari leluhur saya. Dan saya berkewajiban melestarikannya," katanya.

Oleh sebab itu, kata Wiwik, dia sengaja membina kelompok seni lesung yang hampir punah itu dari Bondowoso. "Setiap saat, kami selalu berlatih seni lesung. Dan, ibu ibu PKK yang ada di Sekarputih, menjadi bagian dari kegiatan seni lesung ini," katanya.

Dan, kata Wiwik, dia akan menampilkan seni lesung bila ada tamu yang datang ke Bondowoso. Atau pada bulan Agustus atau hari jadi Bondowoso. "Kami akan memainkan seni lesung ini," katanya.

Wiwik menjelaskan seni lesung berawal dari kebiasaan petani yang warga Bondowoso tempo dulu. Saat itu, setiap panen ibu-ibu memasukkan padi ke dalam lesung. "Lalu, mereka menumbuk padi itu secara bersamaan. Tanpa disadari, hal itu menimbulkan bunyi bunyian yang asyik didengar," katanya.

Maka, kata Wiwik, para leluhurnya, menciptakan seni lesung. Mereka membunyikan lesung dengan memakai  irama. Sehingga, menimbulkan suara atau nada yang indah dan enak didengar. "Jadi seni lesung ini adalah budaya khas Bondowoso. Itu diciptakan oleh para leluhur saya," katanya.

Oleh sebab itu, Wiwik dan keluarganya, selalu berusaha menampilkan seni lesung ini untuk pelestarian seni khas Bondowoso. "Kalau bukan saya, siapa lagi yang melestarikan seni khas ini," katanya.

Wiwik juga punya angan-angan, generasi muda di Bondowoso juga membiasakan memainkan seni lesung ini. "Bahkan, saya punya visi menggelar lomba seni lesung antar generasi muda di Bondowoso," katanya.(*)
sumber : radar jember, 12-04-2010

Wanita Jangan Hanya "nrima"

Oleh Edyna Ratna Nurmaya
Dua ulasan sebelumnya, Kartini tetap menganggap poligami sebagai dosa dan beliau pun ikut terjerat
KEINGINAN Kartini waktu itu sederhana saja. Inginnya agar kaumnya memiliki kekuatan untuk tak begitu saja bersikap nrima (menerima, red). Sikap nrima itu hanya akan membuat kaumnya terlihat lemah. Kartini yang dipoligami, dan mendapati dirinya dibedakan sebagai istri yang hanya berstatus selir pun sudah membuatnya sangat menderita. Pun betapa Kartini harus memberi pemahaman bijaksana kepada anak-anaknya untuk selalu akur dengan saudara-saudara tirinya, itu teramat sulit.
Kelemahan Kartini saat itu yang bisa saja diperbudak egoisme suaminya sendiri lalu memberinya kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya. Nasibnya sebagai yang 'terjajah' fisik maupun mental tak boleh dirasakan kaum perempuan lainnya. Ini seperti disebutkan dalam buku "Kartini Sebuah Biografi" karya Sitisoemandari Soeroto. Tersebut bahwa karena hanya kebodohan wanita yang mau dipoligami dan egoisme pria yang berpoligami yang akan menimbulkan semua derita.
Membuka mata 
Saya memahami, Kartini tak mencoba mempengaruhi kaumnya untuk menentang pria dan menolak poligami. Kartini hanya ingin membuka mata kaum wanita, bahwa ada prinsip kesetaraan derajat antara pria dan wanita yang harus diperlakukan. Bahwa tak boleh ada yang merasa kuat dan lalu menindas yang lemah. Tak perlu juga ada kearoganan yang tercipta.
Perjuangan Kartini atas nama kesetaraan derajat telah membuka jalan bagi kaum perempuan untuk bangkit dan mensejajarkan diri dengan kaum pria. Ya, karena perempuan juga memiliki hak untuk berkarya dan mengaktualisasi diri, menjadi mandiri dan berdikari. Inilah nantinya yang akan menjadi kekuatan bagi wanita untuk tak lagi diremehkan, dan siap menjadi 'boneka' hidup yang siap melawan perbudakan dan arogansi kaum pria.

Minggu, 11 April 2010

Dan Kartini pun Ikut Terjerat

KARTINI yang tinggal dalam keluarga poligami dibelenggu adat feodal terpaksa harus bertumbuh di tengah-tengah kecemburuan. Ya, kecemburuan istri tua pada selirnya atau sebaliknya, lebih mirip drama cinta segitiga layaknya kisah di sinetron masa kini. Gadis cilik seperti Kartini pun harus belajar menerima diskriminasi secara legawa.
Feodalisme saat itu yang mengajarkan begitu kuatnya perbedaan antara "rumah utama" dengan "rumah luar" tentu bukan hanya sebatas perkara jarak tempat Kartini kecil bermain dan berlari dari satu ruangan ke ruangan yang lain di dalam rumah ayahnya. Namun jarak itu telah bermakna mendalam, yaitu sebagai pembatas yang diciptakan oleh nenek moyangnya. Mau tak mau Kartini kecil harus 'manut' aturan main ini. Kartini pun rela dipisah dari ibu kandungnya dan dibesarkan ayah bersama ibu tirinya.
Apakah kerelaan Kartini terpisah dari ibunya lantaran Kartini begitu menghormati dan mencintai ayahnya? Dalam bukunya "Panggil Aku Kartini Saja", Pram menulis: "Orang yang tidak mungkin mau menyakiti hati ayahnya, sengaja atau tidak sengaja, tentulah tidak akan mengiklankan diri sebagai anak selir ataupun anak istri kesekian kepada orang lain, karena bagaimanapun garang ia membela ibunya, sebenarnya ia tidak lain daripada melawan ayahnya sendiri."
Benci sang ayah
Kecintaan sekaligus kebencian pada ayahnya yang berpoligami membawa Kartini pada pilihan akhir. Ya, ironis, ketidaksetujuannya terhadap poligami ayahnya malah membawa Kartini harus pula ikut-ikutan terjerat poligami. Keterpaksaan Kartini dipoligami mungkin sebagai penunjukan rasa hormat dan sayangnya yang teramat besar pada Ngasirah, ibu kandungnya.
Poligami, begitu kata Kartini, ya kata ini memang telah menjadi momok menakutkan bagi hampir sebagian kaum wanita, kaum saya. Terkesan pria dengan keegoisannya bisa melakukan apa saja untuk 'membeli' wanita, menikahinya meski siri demi menghalalkan nafsunya semata. Pemikiran ini telah ada di dalam benak Kartini, jauh sebelum saya lahir ke dunia. Dalam pikirnya, Kartini miris, kenapa kaumnya diperlakukan layaknya "boneka", barang mati yang boleh dipermainkan semaunya. Seakan-akan wanita bukan manusia yang hidup dan tak pernah ada harganya. Sungguh ini bukan pertanyaan yang mudah bagi gadis usia belasan tahun saat itu

Kamis, 08 April 2010

Kartini Tetap Menganggapnya Dosa

BENARKAH nasib wanita ditentukan oleh pria?, dan bukannya sebaliknya, bahwa prialah yang seharusnya tertolong karena masih ada wanita yang bersedia dipoligami?
Inilah egoisme pria yang membuat Kartini pada jamannya saat itu telah menentang keras adanya poligami. Pada sahabat penanya di Belanda, Stella Zeehandelar, Kartini mengungkapkan ketidaksetujuannya itu.
Inilah percikan Katini saat itu: "Aku tidak akan pernah bisa mencintai. Bagiku, untuk mencintai, pertama kali kita harus bisa menghargai pasangan kita. Dan itu tidak kudapatkan dari seorang pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang lelaki yang sudah menikah dan sudah menjadi seorang ayah hanya karena ia sudah bosan dengan yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya? Ini sah menurut hukum Islam. Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan ataupun skandal. Hukum Islam mengizinkan laki-laki beristri empat sekaligus. Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebagai sebuah dosa,"

Mendobrak

Sungguh takjub, surat tertanggal 6 November 1899 itu telah lebih dari seabad yang lalu. Pengirimnya adalah Kartini, seorang puteri bangsawan Jepara yang hanya lulusan sekolah rendah di jaman kolonial. Dengan pemikirannya yang luar biasa ia ingin mendobrak segala kungkungan yang membelenggu kaum wanita, kaumnya.
Bagi Kartini, wanita yang dipoligami hanya akan lebih banyak mengalami kedukaan daripada mendapatkan kebahagiaan. Tak usah jauh-jauh mengambil contoh saat itu, Ibu kandungnya sendiri, Ngasirah adalah korban poligami. Harapan Ngasirah yang jelata dan berkesempatan menjadi istri Bupati demi mendapatkan kebahagiaan ternyata tak didapatkannya secara utuh.
Nasib Ngasirah yang terangkat naik ke kelas atas tak merubah apapun juga. Meski diperistri seorang bangsawan, statusnya tetaplah selir (istri muda), karena  R.M.A. Sosroningrat, ayah Kartini telah memiliki lebih dulu istri dengan empat orang anak.
Pada 21 April 1879, dari rahim Ngasirah, bayi Kartini terlahir ke dunia. Tidak jelas di mana Kartini dilahirkan. Dalam bukunya "Panggil Aku Kartini Saja" Pramoedya Ananta Toer meyakini Kartini lahir di gedung keasisten wedanaan, tempat tinggal ayahnya, meski mungkin bukan di rumah utama. Di sebuah rumah kecil di belakang rumah utama, di sanalah ibunya yang selir tinggal dan melahirkan Kartini.

Kisah Nahrowi, Tukang Sepuh Emas Selama 56 Tahun

Bisa Sekolahkan Tujuh Anak hingga SMA

Tukang sepuh emas, begitulah sebutan yang diterima Nahrowi. Salah seorang tukang sepuh emas yang sudah berjualan selama 56 tahun di pasar Tanjung Jember. Dia mengais rezeki dengan mengandalkan sepeda butut dan sekotak perlengkapan sepuh emas yang selalu ditentengnya.

Nur Fitriana Zuraidah, Jember

---

PENGAP dan bau busuk menyergap ketika menginjakkan kaki di bagian dalam Pasar Tanjung. Sampah-sampah bawang dan beberapa sayuran mengotori lantai pasar yang masih berupa tanah. Orang berlalu lalang melakukan aktivitasnya masing-masing.

Beberapa orang sibuk melakukan penawaran untuk membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Ada pula yang sekadar melakukan aktivitas minum kopi di warung-warung yang mangkal di bagian pojok-pojok tiap lantai pasar.

Terlihat satu orang sedang duduk di bangku panjang yang terletak di sudut lantai 2 pasar, sambil melakukan tawar-menawar dengan seorang ibu berumur kurang lebih 40 tahun.

Ibu tersebut rupanya sedang menawar gelang dari bahan mutiara imitasi berwarna putih dan sedikit berkilau, tampak beberapa rantai sudah sedikit kusam. Namun, kemudian transaksi itu berhenti tatkala sang bapak tua tak mau memberikan harga sesuai yang diinginkan ibu tersebut. Si ibu pun melenggang pergi.

Belakangan diketahui, bapak tua itu bernama Nahrowi. Dia memiliki kios kecil di sudut lantai dua pasar tanjung. Kios tersebut nyaris menjadi kios satu-satunya yang menyediakan jasa penyepuhan emas untuk perhiasan-perhiasan yang telah kusam atau juga yang ingin dinaikkan kadar emasnya. Dengan etalase sederhananya, Nahrowi menunggu pelanggan yang bisa saja datang, bisa juga tidak.

Usianya sudah kepala tujuh, namun badannya masih tampak kuat meski rambutnya sudah mulai memutih termakan usia. Mengenakan kaus oblong berwarna biru, Nahrowi menyesap teh hangat dari gelas kaca berukuran besar yang baru saja dipesannya dari warung terdekat.

Jam sudah menunjukkan pukul 10.30 dan Nahrowi belum juga mendapatkan satu pelanggan. Namun dia tak menyerah. Hari-hari yang sama pernah dilaluinya sebelumnya. Dia bahkan pernah tidak didatangi pelanggan selama seminggu penuh. Dengan penghasilan yang pas-pasan, hebatnya, Nahrowi tak pernah memiliki usaha sambilan lain. Sang istri pun hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki usaha sambilan untuk membantunya.

Pria sepuh asal Kota Pahlawan ini mengaku memulai usahanya pada usia 20 tahun. Dia hijrah ke Jember mengikuti istrinya yang asli Jember. Usaha tersebut dimulainya pada 1976 dengan modal 100 ml emas dengan kadar 99 persen dan sebotol kecil cairan pembersih emas atau biasa dia sebut dengan kaloa.

Awalnya, dia tak memiliki kios. Jangankan kios, ketika itu dia masih menawarkan jasanya di pinggir jalan namun tetap di area Pasar Tanjung. Di tahun tersebut, dia mengaku masih mempunyai banyak sekali saingan yang sudah terlebih dahulu mapan. Sekitar 16 orang penawar jasa penyepuh emas mengiringi langkahnya mengais rezeki. Namun, Nahrowi tak pernah menganggap mereka saingan atau musuh dalam mengais rezeki. Hal itu dipahaminya sebagai sebuah proses kehidupan.

Nahrowi akhirnya memiliki kios ketika memiliki rezeki yang lebih banyak di tahun ketiga dia menggeluti usahanya. Hal itu disebabkan karena banyaknya orang yang menyepuh perhiasannya untuk bersolek. Menurut dia, kultur yang ada di Jember mendukung untuk melariskan usaha yang digelutinya.

Setiap menjelang hari raya, orang seakan mempunyai dorongan untuk menyepuhkan emasnya, hingga Nahrowi dan beberapa kawannya memiliki banyak pelanggan hanya dalam satu hari.

Masa jaya itu terus berkelanjutan. Sebab, orang lebih memilih untuk menyepuhkan emasnya daripada harus membeli emas dengan harga yang cukup mahal ketika itu. Untuk sepasang anting yang berukuran kecil, Nahrowi hanya mematok harga Rp 5 ribu untuk menyepuh emas dalam kadar minimum. Sedangkan untuk kalung dengan panjang kurang lebih 60 cm, Nahrowi hanya mematok harga Rp 15 ribu.

Namun tak sedikit juga orang yang ingin menambah kadar emas perhiasannya menjadi lebih banyak. Kurang lebih setengah hingga 1 gram emas yang dimasukkan. Biasanya, jika sudah ada yang memintanya menyepuh emas dalam jumlah banyak, Nahrowi akan membuka kiosnya lebih lama dibandingkan biasanya. "Syukur-syukur jika dapat lebih banyak lagi kan lumayan," ungkapnya.

Banyak dari tukang penyepuh emas yang melakukan penipuan dengan mengatakan barang yang dijualnya terbuat dari perak. Atau bahkan ketika menyepuh mereka mencampurkan sesuatu untuk mengambil keuntungan lebih banyak. Namun, Nahrowi tak mau melakukannya. Dia takut banyak pelanggannya yang lari karena kebohongannya. "Saya ingin tetap jujur dalam berusaha. Saya takut kalau pelanggan saya lari karena kebohongan yang saya buat. Alhamdulillah tanpa itu, saya masih bisa mendapatkan rezeki," sahutnya.

Namun, masa-masa jaya itu ternyata lebih cepat usai karena zaman sudah berubah. Tepat pada 1980-an usaha jasa emas Nahrowi kalah dengan disediakannya emas muda yang harganya jauh lebih murah dan dijamin bisa dijual kembali.

Nahrowi kalah saing dengan banyaknya toko emas yang menyediakan berbagai perhiasan dengan emas muda. Namun, dia tetap bergeming. Kiosnya tetap dibuka seperti biasa sambil menunggu pelanggan datang untuk menyepuhkan emas.

Meski kawan-kawannya mulai tutup kios, Nahrowi tetap setia pada profesinya sebagai tukang sepuh emas. Hingga saat ini tujuh putranya sudah disekolahkan hingga SMA. Masing-masing dari mereka sudah bekerja.

Ada yang masih di Jember, namun banyak pula yang sudah pindah ke kota lain untuk mencari rezeki. Keempat anaknya tinggal di Jakarta dan hanya sesekali pulang untuk menengoknya.

Tinggal satu putranya yang masih sekolah. Namun dia tak lagi menyekolahkan karena anak tertua menampung adik bungsunya agar tak terlalu menambah beban sang Ayah. "Kadang anak-anak saya juga kirim uang untuk saya dan istri. Biaya hidup sehari-hari kadang juga menggunakan uang itu," katanya.

Tak ada alasan bagi Nahrowi untuk meninggalkan profesinya tersebut. Kini tinggal dia dan satu orang lagi penyepuh emas yang mangkal di sudut pasar yang berbeda. Kawan-kawannya yang lain tak lagi sabar untuk menyalakan kompor kecil sebagai alat untuk melelehkan cairan emas dengan pen 99 persen. Juga tak lagi sabar untuk menyolder satu persatu rantai yang putus dari sebuah kalung.

Namun, Nahrowi tetap setia pada pekerjaannya. Menyolder rantai kalung yang putus kemudian mencuci emas dengan koloa dan memanaskan emas di atas kompor kecil masih dilakukannya ketika ada pelanggan yang datang untuk memintanya menyepuhkan emas. "Saya masih akan terus bertahan dengan usaha ini sampai nanti saya tutup usia," pungkasnya. (*)

Junaedi, Petugas Spesialis Memandikan Gelandangan dan Orang Gila

Aroma Busuk Melekat di Badan selama Sepekan

Tidak banyak yang kenal sosok Junaedi, 44, warga Lingkungan Sukorojo, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Glagah. Tenaga borong kerja (boker) pada Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Banyuwangi itu dikenal sebagai ahli dalam menangani gelandangan dan pengemis (gepeng), serta orang gila (orgil).

RISKI NALANDARI, Banyuwangi

------------------------------------------------------

RAZIA gepeng dan orgil sesekali digelar oleh petugas gabungan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinsosnakertrans Banyuwangi. Begitu selesai dirazia, biasanya penampilan orgil dan gepeng itu langsung berubah. Mereka tampak lebih bersih setelah potong rambut, mandi, dan berganti baju.

Tetapi tahukah Anda, perubahan penampilan mereka tak lepas dari peran seorang relawan. Dia adalah Junaedi alias Edi yang tanpa segan membantu para orgil dan gepeng agar tampak bersih.

Junaedi merupakan tenaga boker di lingkungan Dinsosnakertrans Banyuwangi. Sehari-hari, Junaedi bekerja di bagian umum di Dinsosnakertrans. Dia menangani berbagai urusan, mulai yang kecil seperti mengantarkan surat, hingga membantu segala keperluan umum kantor.

Sekali waktu, dia ikut bertugas saat ada razia orgil. Tugasnya adalah membersihkan orgil dan gepeng yang terjaring razia.

Junaedi mengaku, sudah hampir enam tahun menjalani pekerjaan ini. Dua tahun sebelumnya, dia bertugas sebagai penjaga malam di Kantor Kearsipan di Jalan KH. Agus Salim. Enam tahun berikutnya, dia menjadi petugas bagian umum Dinsosnakertrans sekaligus relawan spesialis memandikan orgil.

Awalnya, Junaedi memandikan orgil dan gepeng karena diajari oleh mantan Kepala Dinas Sosial beberapa tahun lalu. Tanpa segan dengan jabatannya saat itu, Kadis tersebut langsung memandikan orgil dan gepeng yang terjaring razia. Saat itulah, Junaedi merasa terpanggil untuk melaksanakan tugas yang sama. "Saya terinspirasi dari Pak Santo," tuturnya tanpa menyebut nama lengkap mantan Kadis tersebut.

Junaedi mengaku, awalnya merasa enggan memandikan orgil. Sebab, bau orgil dan gepeng sangat tajam dan sulit dihilangkan. Saking tajamnya aroma busuk orgil tersebut, sampai melekat di badannya selama satu minggu.

Menurut Junaedi, pertama kali memandikan orgil dan gepeng, dia merasa tak enak makan selama beberapa hari. Semua itu karena terbayang bau dan kotornya orgil yang dimandikan. "Pak Santo pernah menasihati saya agar melakukan pekerjaan dengan senang dan ikhlas. Semua itu dilakukan agar pekerjaan tidak terasa berat. Sehingga sejak saat itu, saya merasa ringan mengerjakan tugas tersebut," ujar suami Lara Dwi itu.

Saat ini, Junaedi sudah terbiasa memandikan orgil dan gepeng. Sudah tidak ada lagi rasa jijik dan ragu. Semua itu rela dia lakukan karena merasa terpanggil untuk membantu orgil dan gepeng. Sudah hampir enam tahun terakhir dia melakukan tugas tersebut sendirian. Sebab, selama ini tidak ada orang lain yang bersedia melakukan tugas tersebut. Hanya saja, terkadang petugas Satpol PP ada yang ikut membantu memotong rambut orgil. "Semua didasari oleh panggilan hati di dalam diri saya," ungkapnya.

Tugas yang dilakukannya adalah memotong rambut, membuka baju, memandikan, keramas, dan memakaikan baju yang baru. Dia juga harus memotong rambut kemaluan orgil tersebut. Semua itu dilakukan agar tidak ada bakteri. Oleh karena itu, dia langsung membakar pakaian dan barang-barang mereka.

Semua pekerjaan itu dia lakukan tanpa menggunakan sarung tangan. "Memang saya dianjurkan menggunakan sarung tangan dan sikat. Namun, terkadang justru kotorannya tidak hilang sepenuhnya. Sehingga, saya lebih suka tanpa sarung tangan waktu memandikan mereka," ujar pria yang juga gemar menyantap nasi tempong itu.

Junaedi mengaku sudah tak merasa jijik dan risih lagi. Padahal, terkadang dia juga harus memandikan orgil perempuan. Yang paling berat, saat dia harus membersihkan badan orgil yang terluka. Tidak jarang luka orgil itu busuk dan dimakan ulat akibat tidak pernah dirawat. "Kalau ada yang luka seperti ini, saya bersihkan dulu lukanya, baru dimandikan," tutur pria tiga anak itu.

Junaedi mengaku tidak pernah bernafsu meski memandikan orgil perempuan. Padahal, tak jarang juga ada orgil perempuan yang cantik. Meski bau busuknya juga telah dihilangkan, dia tetap merasa biasa saja. Kadang dia juga harus memakaikan pembalut kepada orgil perempuan yang sedang menstruasi. "Tidak pernah terbersit pikiran kotor seperti itu. Niat saya agar mereka bersih. Itu saja," ujar pria yang juga sering memandikan pasien di Pusat Kesehatan Jiwa Masyarakat Klinik Ketergantungan Obat (PKJM-KKO) itu.

Selama memandikan orgil dan gepeng, selalu ada pengalaman lucu yang dialami Junaedi. Contohnya, saat dia harus memandikan dua orang orgil laki-laki dan perempuan. Ketika selesai dimandikan, tiba-tiba dua orgil ini saling merayu dan berpelukan. Bahkan, kedua orgil beda jenis itu akan melakukan hubungan intim. Padahal, sebelum dimandikan, mereka tidak mau dekat satu sama lain. "Ya pokoknya saling merayu gitu," ujarnya sambil tertawa.

Ada satu lagi kejadian, ada orgil perempuan yang telanjang minta dibonceng dan minta diantarkan jalan-jalan. Junaedi juga sering mendapati orgil perempuan muda yang ditemukan dalam kondisi hamil. Oleh karena itu, dia merasa heran bagaimana mungkin ada orang yang tega melakukan hal seperti itu. "Suka-dukanya ya banyak, tapi tetap dijalani saja," tuturnya.

Sementara itu, tidak semua orgil dan gepeng selalu menurut apabila dimandikan dan dibersihkan. Terkadang mereka berontak dan menolak. Namun, Junaedi memiliki trik khusus untuk membuat mereka menurut, yaitu memberi mereka rokok terlebih dahulu. Setelah itu, biasanya mereka mau dimandikan dan dibersihkan.

Hingga sekarang, Junaedi juga memiliki kebiasaan unik setiap selesai memandikan orgil. Begitu tiba di rumah, dia selalu masuk ke kandang ayam terlebih dahulu. Setelah puas berada di kandang ayam, barulah dia mandi dan membersihkan semua kotoran di tubuhnya.

Setelah selesai mandi dan bersih, barulah dia berani masuk rumah dan bercengkerama dengan putrinya yang masih berumur empat tahun. Semua kebiasaan itu dilakukan agar anaknya tidak terkena bakteri yang mungkin terbawa saat memandikan orgil.

Selama bertugas, Junaedi mengaku selalu mendapat dukungan dari keluarga. Sang istri, Lara Dwi mengatakan, kadang saat suaminya habis memandikan orgil dan gepeng masih ada bau busuk yang menempel. Namun, dia hanya diam saja dan tidak pernah komplain. Hal itu merupakan bentuk dukungan yang diberikannya kepada Junaedi. "Sudah maklum kok," ujarnya. (bay)
sumber : radar banyuwangi

Minggu, 04 April 2010

Video Bocah Perokok Menyebar Luas

EMBER - Video Sandy, bocah berusia empat tahun yang sudah ketagihan rokok asal Malang, ternyata sudah merebak di Jember. Bahkan, video ini sudah merambah pelosok desa. Banyak apresiasi setelah melihat tayangan video yang tak pantas dipertontonkan ini. Mulai yang mengaku prihatin dengan kondisi bocah tersebut hingga mengecam orang tua yang melahirkan bocah ini.

Dalam video tersebut, Sandy yang masih berusia empat tahun ini ditampilkan sedang mengisap rokok layaknya orang dewasa. Bila melihat pengambilan gambar, lokasinya seperti dalam sebuah gudang.

Layaknya orang dewasa, rokok diisap dan asap pun mengepul. Bahkan, Sandy begitu piawai membuat atraksi asap dari rokok yang diisapnya. Dia sudah bisa membuat lingkaran asap dari mulutnya. Ini diulang hingga berulang kali.

Sandy pun bisa berkomunikasi dengan orang dewasa yang sengaja menanyainya. Yang mengenaskan, dalam tayangan video tersebut, Sandy sering mengeluarkan kata-kata kotor dan seronok yang tak pantas dikeluarkan dari mulut yang masih bocah ini.

Tayangan video ini semakin merebak tatkala disebarluaskan lewat handphone. "Saya kasihan kepada anak itu (Sandy, Red). Orang tuanya itu yang tidak bertanggung jawab. Seharusnya tidak demikian," kata Ima, salah seorang pemilik warung di Rambipuji.

Ima mengaku sudah lama mendengar kabar tentang video Sandy yang menghebohkan tersebut. Ini didapat dari orang-orang yang berkunjung ke warung kopi miliknya. "Banyak yang sudah punya video seperti itu. Saya hanya prihatin dengan nasib bocah. Semoga saja anak saya tidak seperti itu," kata Ima lagi.

Hal senada dilontarkan Ibu Santi, pemilik warung di Balung. Ketika melihat video Sandy, dia begitu tercengang. Bukannya terhibur dengan atraksi yang dilakukan Sandy, dia malah meneteskan air mata.

"Saya kasihan kepada anak itu. Siapa orang tuanya, kok tega banget," katanya. Dari kondisi itu, dia pun berharap kepada pihak terkait segera melakukan upaya penyelamatan terhadap bocah tersebut. Sebab jika tidak, kata dia, Sandy akan terperosok ke dunia hitam.

"Sejatinya bocah itu cerdas. Dia sudah bisa diajak komunikasi. Saya kasihan, semoga saja segera diatasi masalah ini oleh pihak yang terkait," katanya.(rid)

Bacabup Independen Terancam Gugur

Pudjo-Erna dan Ratna-Nuris Tak Penuhi Syarat

BANYUWANGI - Dua pasangan bakal calon bupati (bacabup) perseorangan terancam tidak bisa mengikuti pilkada 14 Juli nanti. Pasalnya, dukungan terhadap Pudjo Setijono-Erna Padmi Andajaningrum dan Ratna Ani Lestari-Yusuf Nuris tidak memenuhi. Hal itu diketahui dari hasil rekapitulasi di beberapa Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

Seperti yang terjadi di PPK Kalipuro. Banyak dukungan kepada kedua pasangan bacabup perseorangan itu tumbang lantaran tidak memenuhi syarat. Di Kecamatan Kalipuro, pasangan Pudjo-Erna mengajukan dukungan 656 pendukung. Dari jumlah itu, sejumlah Panitia Pemungutan Suara (PPS) telah melakukan verifikasi faktual. Hanya saja, setelah diverifikasi, tidak satu pun dukungan yang memenuhi syarat. Dari 656 dukungan, seluruhnya gugur karena tidak memenuhi syarat.

Ketua PPK Kalipuro Istupik mengatakan, dukungan untuk pasangan Pujdo-Erna tidak diverifikasi karena daftar dukungannya tidak ada. Padahal, dukungan warga harus tertuang dalam daftar dukungan yang diteken langsung pendukung dan pasangan calon. Sementara itu, dukungan milik pasangan Pudjo-Erna tidak ada tanda tangan pendukung dan pasangan bacabup. Itu terjadi karena daftar calon tidak dilampiri daftar dukungan seperti yang diatur dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). "Pasangan ini hanya menyerahkan lampiran KTP (kartu tanda penduduk) pendukung, sedangkan daftar pendukungnya tidak ada," ungkap Istupik kepada koran ini kemarin (3/4).

Lantaran tidak ada daftar dukungan, secara otomatis pendukung pasangan Pudjo-Erna di Kecamatan Kalipuro dianggap tidak ada. Kecuali pasangan tersebut bisa melakukan perbaikan dalam waktu yang ditetapkan oleh KPU.

Nasib serupa menimpa pasangan Ratna-Nuris. Ratusan pendukungnya tumbang. Dari 997 pendukung, yang memenuhi syarat hanya 708 orang. Yang 289 pendukung tidak memenuhi syarat. Penyebab gugurnya dukungan pasangan incumbent itu ada beberapa hal, di antaranya karena pendukungnya menyatakan tidak pernah mendukung, KTP dobel, dan beberapa penyebab lain. Namun, sebab yang paling banyak sehingga dukungan gugur, karena mereka tidak pernah memberikan dukungan kepada Ratna-Nuris. "Rekap hasil verifikasi di Kecamatan Kalipuro sudah rampung. Kita tinggal menunggu proses verifikasi yang belum melaksanakan," beber Istufik.

Tidak hanya di Kalipuro. Hal yang sama juga terjadi di beberapa kecamatan lain. Dukungan kepada Pudjo-Erna juga banyak yang tumbang. Penyebabnya sama, yakni tidak menyerahkan daftar dukungan dan hanya menyerahkan fotokopi KTP pendukung.

Begitu juga pasangan Ratna-Nuris. Di beberapa kecamatan, pendukung Ratna ternyata banyak yang menarik dukungan. Alasannya, mereka tidak pernah mendukung. Bahkan, beberapa warga mengaku tidak pernah memberikan tanda tangan dukungan kepada Ratna-Nuris.

Di beberapa desa di Kecamatan Wongsorejo, dukungan untuk Ratna rontok karena mereka merasa dicatut sebagai pendukung. Di Desa Bumirejo, misalnya. Pendukung Ratna yang tertera dalam data PPS berjumlah sekitar 300 orang. Namun setelah diverifikasi, jumlahnya menyusut menjadi 15 orang saja. Sisanya menarik diri karena tidak pernah mendukung. "Kita nggak ikut campur, PPS kita persilakan kerja secara profesional," kata salah seorang kades yang menolak namanya disebutkan. (afi/irw)

sumber : radar banyuwangi

Sabtu, 03 April 2010

Kiai Palsu Perdaya PNS

SITUBONDO - Maunya ingin cepat kaya, eh malah dapat petaka. Demikianlah nasib yang dialami Yohanes Nanung, seorang pegawai negeri sipil (PNS) asal Desa Wringinanom, Kecamatan Panarukan.

Pria 33 tahun itu terpaksa gigit jari setelah tertipu iklan paranormal di sebuah majalah terbitan Surabaya. Betapa tidak, uang miliknya senilai Rp 3,5 juta sebagai mahar "transfer gaib", raib tanpa membawa hasil. Sadar dirinya diperdaya, pegawai yang berdinas di RSU dr. Abdoer Rahem, Situbondo, itu pun akhirnya melapor ke Mapolres Situbondo, kemarin.

Petaka yang dialami Yohanes berawal dari kondisinya yang sedang susah. Belakangan, Yohanes seolah mendapatkan jalan keluar. Sebab, korban telah membaca sebuah majalah terbitan Surabaya, edisi 2405, tertanggal 1-10 Maret 2010. Pada halaman 70 majalah tersebut, terdapat sebuah iklan paranormal yang mengklaim bisa mencarikan solusi berbagai persoalan. Tahu begitu, Yohanes segera menghubungi si paranormal lewat nomor kontak yang tertera.

Nah, dalam percakapan via telepon, si paranormal mengaku sebagai KH. Sayyid Alibiah, yang beralamat di Dusun Pesisir, Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Surabaya. Kepada korban, kiai palsu itu mengaku bisa mentransfer sejumlah uang secara gaib ke rekening korban. Tentu saja iming-iming itu tidak gratis. Yohanes diminta mentransfer mas kawin (mahar) lebih dulu senilai Rp 2,5 juta. "Uang transfer gaib itu katanya baru akan masuk ke rekening saya tiga hari setelah mahar ditransfer," kata korban kepada polisi.

Oleh karena itu, tanpa pikir panjang, Yohanes pun menuruti permintaan mahar Rp 2,5 juta itu. Transfer dilakukan di BCA Cabang Situbondo di Jalan Diponegoro. Uang sebanyak itu dikirim ke rekening atas nama Idris Abu Bakar. Setelah itu, pelaku meminta kiriman lagi Rp 1 juta. Kali ini, lagi-lagi Yohanes menuruti permintaan kiai palsu tersebut. Sehingga, total uang korban yang ditransfer Rp 3,5 juta. Korban baru sadar diperdaya setelah uang transfer gaib yang dijanjikan tak kunjung masuk ke rekeningnya.

Kapolres Situbondo AKBP melalui Kasatreskrim AKP Sunarto membenarkan adanya laporan penipuan tersebut. Menurut Sunarto, korban terperdaya setelah membaca iklan di sebuah majalah. Pelaku berdalih bisa mengirimkan uang secara gaib ke rekening korban setelah mahar dari korban ditransfer ke rekening pelaku. "Kami masih menyelidiki kasus penipuan itu. Ini sekaligus peringatan bagi warga agar tidak mudah percaya dengan orang yang baru dikenal. Apalagi melalui telepon," sarannya Jumat (2/4) kemarin. (gaz/aif)
sumber : radar banyuwangi

Anas-Ratna Saling Kejar

Hasil Survei Elektabilitas Versi LSB

BANYUWANGI - Status sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi lahan lapter senilai Rp 19 miliar, ternyata kurang begitu mempengaruhi rakyat untuk tetap memilih Bupati Ratna Ani Lestari. Tingkat elektabilitas Ratna ternyata lumayan bagus dibandingkan beberapa cabup lain.

Hanya saja, elektabilitas Ratna masih belum bisa mengalahkan elektabilitas penantang barunya, Abdullah Azwar Anas. Hasil survei yang dilakukan Lembaga Survey Banyuwangi (LSB), elektabilitas Ratna masih tercatat sekitar 23,33 persen. Sementara itu, elektabilitas penantang beratnya, Anas, berada pada angka 27,10 persen. "Jika pilkada digelar saat ini, Anas akan mengalahkan Bupati Ratna," ungkap Plt. Direktur Eksekutif LSB, Adhen Eko Ariyadi.

Adhen mengatakan, tingkat keterpilihan Anas saat ini mampu mengalahkan tingkat keterpilihan Bupati Ratna. Selain dua bacabup yang menempati ranking satu dan dua, calon lain yang menyita perhatian pemilih adalah Wakil Bupati Yusuf Nuris. Dia menempati ranking tiga.

Elektabilitas politisi yang akrab disapa Gus Yus itu ternyata mencapai 18,07 persen. Posisi keempat ditempati bacabup Partai Demokrat, H. Jalal, dengan angka 13,11 persen.

Elektabilitas cabup Partai Gerindra, Emilia Contessa, berada pada angka 10,10 persen. Sementara itu, responden yang tidak memberikan jawaban terhadap survei LSB mencapai sekitar 8,29 persen. Dalam survei tersebut, LSB mengambil sampel sekitar 600 responden penduduk Banyuwangi.

Adhen menjelaskan, survei yang dilakukan LSB dilakukan sejak 25 Februari hingga 5 Maret 2010. Survei dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode simple random sampling atau secara acak sederhana. "Kita menggunakan teknik wawancara semi struktural interview," jelas pria yang menjabat sebagai Kepala Departemen Research dan Survey di LSB itu.

Sampel yang diwawancarai dalam survei LSB adalah kelompok masyarakat yang dipilih secara acak menggunakan metode kish grid. Sampel diambil dari 60 persen dari jumlah total kecamatan yang ada di Banyuwangi. Dari 60 persen tersebut, kemudian diambil 600 sampel dari total penduduk Banyuwangi. "Interval tingkat kepercayaan mencapai 95 persen," kata Adhen.

Nama-nama yang muncul dalam survei tersebut, murni berasal dari masyarakat pemilih. Awalnya, muncul sekitar 18 nama calon bupati. Dari 18 nama calon tersebut, kemudian dikerucutkan menjadi sepuluh. Dari sepuluh itu, kemudian disaring menjadi lima calon. Lima calon itulah yang disurvei elektabilitasnya masing-masing.

Apakah survei dijamin bebas dari kepentingan politik? Adhen mempersilakan publik berpersepsi mengenai hasil survei yang dilakukannya. Yang jelas, survei yang dilakukan LSB murni kerja intelektual tanpa pesanan politik dari pihak mana pun. "Monggo saja menilai seperti itu. Yang jelas, kami akan terus melakukan survei hingga mendekati pilkada 14 Juli 2010 mendatang," tegasnya.

Sementara itu, Radar Banyuwangi juga menggelar polling cabup favorit. Dari 20 nama cabup yang terjaring, ada enam tokoh yang mendapat perhatian pembaca hingga kemarin. Pengusaha Michael Edy Hariyanto menempati posisi puncak dengan angka 7.777 pemilih. Posisi kedua ditempati Abdullah Azwar Anas dengan 7.068 pemilih, posisi ketiga dipegang mantan anggota DPRD, R. Bomba Sugiarto, dengan 5.090.

Bacabup Partai Demokrat (PD) Sandi Suwardi Hasan berada di posisi keempat dengan 4.669 pemilih. Pengusaha Toni Hartono menempel ketat Sandi di posisi kelima dengan 3.389 pemilih. Sementara itu, H. Jalal berada di posisi keenam dengan 3.288 pemilih. ''Tetapi, polling cabup favorit versi pembaca RaBa tidak ada kaitannya dengan pilkada yang digelar KPU Banyuwangi,'' ujar Iwan Setiono, salah satu panitia polling tersebut.

Polling tentang cabup juga dilakukan oleh website berita Jurnal Besuki. Polling di dunia maya tersebut menghasilkan beberapa nama tokoh yang layak memimpin Banyuwangi.

Hingga tadi malam, H. Jalal menempati ranking pertama dengan perolehan dukungan 35,29 persen. Posisi kedua adalah cabup Partai Gerindra, Emilia Contessa, dengan perolehan dukungan 16,36 persen. Peringkat ketiga, Direktur Radar Banyuwangi dan Radar Jember, Samsudin Adlawi, dengan perolehan 14,89 persen. Sementara itu, Abdullah Azwar Anas berada di peringkat keempat polling tersebut dengan perolehan 14,52 persen. Sementara itu, cabup lain kurang mendapat perhatian dari pembaca website www.jurnalbesuki.com . (afi/bay)
sumber : www.jawapos.co.id