Senin, 28 November 2011

Kisah Seorang Murid Di Hari Guru



Hari Jum`at, 25 November 2011, seorang guru sekolah dasar sedang mengajar di kelasnya. Guru tersebut memberi tugas kepada murid-muridnya. “Anak-anak, tugas belajar hari ini adalah menggambar bebas. Buatlah gambar atau apa saja yang kalian anggap berharga atau benda yang kalian miliki, “ perintahnya.
“Misalnya, rumah yang kamu tinggali bersama orang tua, benda yang kamu sayangi, pemandangan alam yang indah atau benda apapun yang kamu inginkan. “Bagaimana anak-anak, sudah jelas bukan?”tanya bu guru.
“Sekarang, keluar alat-alat gambar dan segera mulai menggambar,”lanjut sang guru. Maka, anak-anak itu pun dengan gembira mulai mengeluarkan alat-alat gambarnya sambil berceloteh, saling melontarkan pertanyaan dan jawaban tentang benda apa yang akan digambarnya.

Tidak lama kemudian, kelas pun berangsur tenang. Masing-masing anak segera sibuk idenya yang akan dituangkan ke atas kertas gambar.

Saat waktu yang diberikan untuk tugas selesai, sang guru meminta setiap murid, satu persatu maju ke depan kelas untuk memperlihatkan gambarnya dan menceritakan secara singkat alasan mengapa dia menggambar itu. 

Ada berbagai macam gambar dan alasan yang dikemukakan murid-murid itu. Ada yang menjelaskan tentang gambar mobil, mainan, buah-buahan, pemandangan dan lain sebagainya.

Tiba saat giliran terakhir, Slamet seorang yang seorang anak yang agak pemalu. Karena kakinya yang pincang ketika berjalan. Dia maju ke depan kelas. Meski kurang sempurna dalam berjalan, namun hasil gambarnya nampak bahwa Slamet sangat pandai dalam melukis.

Semua perhatian pun mendadak terarah kepada Slamet, teman-teman sekelasnya ingin mengetahui apa yang digambar oleh Slamet, seorang anak yang cacat dan berasal dari keluarga miskin itu.
Tak lama, Slamet memperlihatkan gambarnya. Rupanya dia menggambar sepasang tangan. Kelas pun akhirnya ramai karena mereka bertanya-tanya mengapa Slamet justru menggambar sepasang tangan ?
Apa maksudnya ? Tangan siapa yang digambarnya ? Tangannya sendiri atau tangan orang lain? Kenapa malah tangan yang digambar ?
Semua teman-teman Slamet di kelas berusaha menebak gambar tangan siapa yang dilukisnya itu.
Setelah memperhatikan gambar dengan seksama, Ibu guru bertanya dengan lembut,”Slamet, tangan siapa yang kamu gambar, Nak?”.
Slamet menjawab dengan suara pelan tetapi jelas. “Yang satu adalah gambar tangan ibuku dan yang satunya lagi gambar tangan ibu guru,”kata Slamet.
“Kenapa, kamu tidak menggambar tangan milikmu sendiri?”tanya bu guru lebih lanjut.
“Gambar tangan itu memang bukan tanganku sendiri, Bu guru. Tetapi saya menyanyangi dan mensyukuri tangan-tangan itu,”jelasnya.
“Karena dengan sepasang tangan milik ibu sayalah yang menuntun, mengajari dan melayani aku secara tulus sehingga saya bisa tumbuh seperti saat ini,”kata Slamet.
Slamet pun menjelaskan,’Satu lagi, saya menggambar tangan Bu guru karena lewat sepasang tangan Ibu gurulah yang mengajariku menulis dan melukis.”. kata Slamet.
“Walaupun kaki saya pincang, tetapi tangan saya bisa menulis dan membuat lukisan yang indah. Terima kasih, Ibu guruku dan Selamat Hari Guru Bu,”ucap Slamet dengan tulus.
Dengan mata berkaca-kaca, Ibu Guru menganggukan kepala. “Terima kasih kembali, kamu memang anak yang mengerti dan pandai bersyukur,”ujar bu guru menahan haru.

Selamat hari guru, Semoga engkau mampu mejadi pembentuk karakter bangsa

Selasa, 01 November 2011

Mengapa Anak Berperilaku Buruk...?

TRIBUNNEWS.COM - Perilaku agresif terkadang lazim ditemui pada anak-anak usia dibawah lima tahun (balita). Namun jika perilaku tersebut masih bertahan sampai ia bersekolah TK atau SD, hhhm bisa jadi ada yang salah dengan pola asuh ibunya.
Para peneliti dari Universitas of Minnesota, Amerika Serikat, menyebutkan pada umumnya pembawaan bayi adalah tenang. Tetapi pada satu masa di awal usia balita, anak bisa punya kebiasaan suka memukul. Sifat agresif itu mencapai puncaknya saat balita berusia 2,5 tahun, kemudian mereda.

Menurut teori, balita berusia 4 tahun lebih bisa dikendalikan dibanding balita usia 2 tahun, dan anak berusia 6 tahun berperilaku lebih baik dibanding rata-rata anak usia 4 tahun.
Namun pada kenyataannya ada anak-anak yang berperilaku sulit diatur. Menurut Michael Lorber, peneliti yang melakukan riset ini, ada sebagian anak yang tetap berperilaku agresif sampai ia berusia 6 tahun.

"Anak yang masih bersikap agresif di usia TK atau kelas I sekolah dasar berpotensi besar membawa sikap itu sampai besar," kata Lorber.
Padahal, literatur menyatakan anak yang agresif, seperti suka memukul atau melempar benda saat tantrum, cenderung bermasalah di sekolah, beresiko tinggi depresi, bahkan suka melakukan kekerasan pada pasangannya kelak.

Dalam penelitian yang dilakukan Lorber terhadap 267 ibu dan anak, diketahui bayi usia 3 bulan pun sudah bisa meniru. Jika sejak bayi si ibu bersikap kurang sabar atau suka mengomel, besar kemungkinan bayinya akan tumbuh menjadi anak berperilaku buruk.

Sikap agresif anak juga bisa timbul dari pengaruh sekelilingnya, seperti tayangan televisi atau video games. Namun, Lorber menjelaskan bahwa pola asuh bukan faktor tunggal dalam pembentukan perilaku anak karena ada juga pengaruh faktor genetik.

Walau begitu, ia menyarankan agar orangtua memberi contoh perilaku yang baik pada anaknya. "Mulailah sedini mungkin. Menjadi orangtua yang sensitif dan merespon kebutuhan sosial dan emosional anak sangatlah penting," katanya.

Rambut Beruban...Jangan Dicabut

Rambut Beruban? Awas Jangan Dicabut

Rambut Beruban? Awas Jangan Dicabut
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Uban saat ini bukan hanya masalah orang tua saja. Perempuan maupun laki-laki berusia di bawah 25 tahun juga mulai bermasalah dengan uban. Meski baru muncul satu atau dua helai, uban tetap saja mengganggu penampilan.

Namun ketika sehelai rambut putih muncul, Anda jangan panik dengan langsung mencabutnya. Sebab mencabut uban punya banyak dampak buruk, tak hanya terhadap rambut.
Dermatolog, dr Farmanina Santoso, mengatakan bahwa rambut di kepala tumbuh di bawah kulit yang banyak terdapat saraf di dalamnya. Hal itu termasuk rambut putih yang tumbuh karena berbagai faktor, seperti keturunan, gaya hidup, juga stres.

Oleh karenanya, lanjut dr Nina, mencabut uban akan mengganggu saraf. Akibatnya, sinyal saraf untuk memproduksi warna rambut akan terganggu.

"Pertumbuhan dan warna rambut juga akan terganggu karena mencabut uban," katanya di sela-sela peluncuran pewarna rambut Garnier Color Naturals di Plaza Semanggi, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia juga menjelaskan, pertumbuhan rambut terbagi dalam tiga fase, yakni fase pertumbuhan atau anagen yang membutuhkan waktu 2-6 tahun. Selanjutnya fase kotagen selama 3-6 minggu.

Kemudian fase telogen, yaitu masa ketika rambut telah tumbuh dan terus memanjang hingga akhirnya rontok. Setelah melewati fase ketiga ini, rambut memulai kembali fase pertumbuhannya dari tahap pertama tadi.
Rambut, secara alami, akan melalui proses perontokan. Uban juga lama-kelamaan akan rontok.

Jadi, biarkan saja rambut berproses secara alami, dan jangan pernah dipaksa dengan mencabutnya.
"Mencabut uban juga mengakibatkan sering pusing. Selain itu, rambut juga tidak tumbuh karena folikel yang rusak," ucapnya.