Rabu, 06 Januari 2010

Cinta dalam Perkawinan


Sesungguhnya rasa cinta yang kita miliki setelah terikat janji suci perkawinan akan terlihat secara jujur dan apa adanya, karena tidak ada tabir pembatas lagi bagi sepasang suami-istri dalam berinteraksi. Itu sangat berbeda dengan ketika rasa cinta tidak berada dalam bingkai suci perkawinan, misalnya dalam pacaran, yang biasanya penuh kebohongan yang dibalut oleh kata manis yang membuai dan melenakan.

Sebenarnya dalam sebuah perkawinan cinta akan diuji seiring dengan berbagai ujian kehidupan berumah tangga. Namun seiring pengetahuan akan kelebihan dan kekurangan dari pasangan kita yang mungkin jauh dari harapan awal sebelum menikah.Tentunya pula, cinta terhadap pasangan akan diuji apakah cinta tersebut cinta yang melahirkan kemaslahatan, cinta yang mencerahkan, ataukah cinta yang membelenggu.

Secara tidak sadar, terkadang cinta kita terhadap pasangan adalah cinta yang membelenggu, cinta yang membuat pasangan kita tidak bisa mengembangkan potensi kebaikannya secara optimal, cinta yang membuat pasangan kita terkungkung bahkan mungkin tertekan dengan rutinitas sehari-hari, cinta yang membuat pasangan kita surut semangat dakwahnya dibandingkan sebelum menikah, cinta yang membuat pasangan turun semangat ibadahnya, dan sebagainya.

Istri yang tanpa lelah selalu mendorong suaminya berkarya dan berkarya, sehingga waktunya bermanja pada suami pun jadi terbatas, adalah istri yang menebarkan cinta yang sifatnya prestatif.

Ketika seorang istri ingin selalu diperhatikan oleh suami, sehingga sepulang kerja si suami itu tidak boleh keluar rumah meski untuk sekadar berolahraga seminggu sekali; ketika seorang suami lebih suka minta istrinya di rumah saja, dan di sisi lain ia tidak suka istrinya menuntut ilmu untuk menambah wawasan; ketika seorang istri selalu minta suaminya berjamaah di rumah dengan alasan untuk menjaga romantisme kehidupan rumah tangga, padahal jamaah di masjid adalah sunah muakkad bagi laki-laki; atau ketika seorang ibu yang begitu cintanya kepada anak balitanya sehingga selalu melarang buah hatinya melakukan hal-hal baru (sebatas yang tidak berbahaya); ketika itu pula sedang berlaku cinta yang membelenggu, cinta yang berenergi negatif, dan cinta yang tidak konstruktif, melainkan destruktif.

Semestinya, cinta yang kita miliki merupakan cinta yang secara optimal mampu menumbuhkan potensi kebaikan pada orang yang kita cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar