Sabtu, 13 November 2010

Hati-Hati Terhadap Omongan Sendiri

Maka, upayakan jangan pernah berjanji muluk-muluk kepada orang lain. Salah-salah, kita malah akan menjadi korban.
Ini kisah yang menimpa teman main semasa kecil. Sebut saja dia Wiloto. Dia anak orang kaya di kampung kami, besar dan tumbuh dengan kemakmuran.
Terbiasa hidup enak, dia pun menjalani masa dewasa, maunya, dengan enak pula. Wiloto ini pernah kuliah di IAIN di Semarang. Ia mengambil jurusan dakwah. Sewaktu kuliah, di aktif di HMI. Dan, ia pernah terlibat dalam gerakan menentang asas tunggal Pancasila. Ia malah pernah diciduk aparat Koramil karena membuat acara LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) di daerahnya tanpa izin. Zaman itu, tentara amat berkuasa, dan dia digebukin hingga tulang pinggangnya patah.
Selepas itu, dia agak mengendor. Ia hanya menjadi guru mengaji di kampung, dan sesekali ceramah di masjid. Karena di kampung, semua itu dijalankan dengan benar-benar harus ikhlas. Artinya, tidak ada honor atau pemberian ucapan terima kasih. Terkecuali untuk ceramah di luar kampung, mungkin ia mendapatkannya.
Seiring namanya yang mulai harum, dia membuka bisnis penggergajian kayu. Dia membeli kayu gelondongan dari petani, mengubahnya menjadi balok dan papan, lantas menjualnya ke luar daerah. Semula bisnisnya maju pesat. Ia bisa mengirim kayu ke berbagai daerah. Tapi, kesuksesan juga membuat dirinya berubah. Dan, beberapa orang yang bekerja dengan dirinya, banyak yang mengeluh karena gaji yang diberikan tidak sesuai dengan janji. Begitu pula, dengan penjual kayu, tidak sedikit yang protes karena pembayaran tak beres.

Kesuksesan membuat dia silau. Ia tergoda untuk besar, dan makin besar. Wiloto menjual kayu-kayu ke daerah Jawa Timur. Semula pengiriman demi pengiriman, transaksi berjalan lancar. Pembayaran dilakukan setelah barang tiba di tempat. Tetapi, belakangan, macet. Saat ia mencoba menagih, dia dihadapi dengan kekerasan. Maka, Wiloto pulang dengan tangan kosong. Daripada nyawa melayang bukan?

Modal pun habis. Nah, mulai dari sini Wiloto mulai “mengerjai” orang lain. Paling sering pinjam uang, tetapi pengembaliannya jarang terjadi. Setelah itu, Wiloto mencoba lagi dengan bisnis ayam potong. Dia membeli ayam hidup, dikuliti dan dijual ke pasar. Hasilnya lumayan. Bisnis ini juga sebenarya “melukai” orang lain karena ayam milik peternak, pembayarannya sering meleset dari janji. Suatu pagi buta, motor yang dikendarainya menabrak truk yang sedang parkir. Beruntung selamat, hanya motornya yang harus dibawa ke “rumah sakit”.

Akibat tidak sabar pula, Wiloto pindah bisnis. Ia sekarang menjual daging sate. Ya, dia menjual daging ayam yang sudah ditusuk dengan bambu siap menjadi sate. Ini yang dijual ke para pedagang sate. Lagi-lagi, bisnisnya jeblok.

Sejak saat itu, Wiloto seperti tersesat dalam putaran kata-kata. Dia sudah melupakan ilmu agamanya untuk mengajari baca Al Quran. Dia juga sudah tidak diterima penduduk kampung lagi untuk berceramah. Mengapa? Itu dia, karena kata-katanya sudah tidak bisa dipegang.
Wiloto, mungkin frustasi atau entah kenapa, tiba-tiba menjadi juru bohong. Dia menipu ke sana ke mari. Dia pernah meminjam uang ke bank dengan mengagunkan sertifikat rumah milik kakaknya. Dia pernah menipu tiga tetangganya dengan modus mengirim sebagai tenaga kerja ke Jawa Timur. Dia mengutip ongkos Rp 1,5 juta per orang. Pernah pula dia mengaku bisa mengegolakan dana bantuan pembangunan masjid, tapi justru dana masyarakat dibawa lari. Dan banyak lagi kisah buruk tentang kawan saya ini.

Akibatnya? Setiap hari dia harus bersembunyi. Setiap hari ada orang datang menangih utang ke rumahnya. Dia terus menghilang. Oh ya, dia menikah dengan seorang gadis asal Semarang, yang dikenalnya di bus. Dari pernikahan ini, Wiloto memiliki dua anak. Orang tua istrinya itu, seorang pengusaha kerupuk.
Beberapa waktu yang lalu, dia menghilang, dan pergi ke rumah mertuanya. Kepergian ini lebih tepat untuk menghindari dari kejaran orang-orang. Dia tinggalkan anaknya yang terbesar bersama neneknya, sementara Wiloto, istri dan anaknya yang lain “mengungsi”. Lagi-lagi, konon, dia berbuat ulah juga di rumah mertua indah. Wiloto seperti kehilangan kendali. Sebenarnya, untuk sekedar kebutuhan hidup, Wiloto sudah ada. Orang tuanya masih punya sawah. Sekali lagi, mungkin karena dia tidak bisa mengendalikan diri, keinginananya untuk segera mendapatkan hidup yang enak, justru membuat terpenjara.
Wiloto memang tidak ditahan, tetapi ke manapun pergi dia sudah harus menunduk. Dia takut ketemu orang-orang yang pernah dibohonginya. Khawatir kepergok orang-orang yang pernah ia beri berbagai janji. Dia malu. Dia takut. Dia tak lagi berani bergaul. Tak ada lagi orang yang percaya dengan dirinya.

Beberapa waktu lalu, saya ketemu dengan dirinya. Wajahnya sangat lelah. Tak ada lagi kepercayaan diri. Apalagi dia sudah terserang penyakit diabet akut. “Badanku habis ya,” katanya. Sekarang kerutan di wajahnya tampak jelas, dan tatapan matanya menyiratkan batin yang sedang merana.
Dulu, Wiloto memang gemuk, gagah dan ganteng. Dengan kemampuan bicara dan kepandaiannya, dia memang mudah memperdaya orang. Sayang apa yang ia miliki justru dimanfaatkan untuk sesuatu yang tidak perlu. Rupanya, dia tidak sabar menghadapi cobaan hidup, hingga kemampuan itulah yang membuat dirinya justru masuk perangkap kehidupan.

Sekarang, dia mulai menata hidup. Satu per satu persoalan dia atasi. Saya tidak tahu apa yang sedang dilakukan. Yang pasti, sekarang tidak ada lagi orang-orang yang datang ke rumah. Entah menagih janji atau meminta pertanggungjawaban keuangan.

Andai saja sejak awal Wiloto bersabar. Andai ia tidak bernafsu ingin mendapatkan keuntungan secara cepat, ingin akumulasi modal sesegera mungkin. Seribu andai bisa diterapkan untuk Wiloto. Tapi satu hal yang paling pokok: andai dia bisa bersabar dengan menahan lidahnya….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar