Selasa, 18 Januari 2011

Dugaan Korupsi di Program Penerimaan Mahasiswa Baru KSDI di Universitas Indonesia

by Ade Armando on Thursday, January 6, 2011 at 1:21pm

Apakah Universitas Indonesia peduli dengan arti penting pembangunan daerah-daerah di luar Jakarta? Apakah UI peduli agar pengelolaan pendidikan negara ini bersih dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme? Apakah UI peduli dengan nasib mahasiswa-mahasiswa pintar yang tak mampu?
Saya kuatir, jawabannya tidak. .  

Di sini, saya ingin menshare apa yang saya ketahui tentang sebuah program penerimaan mahasiwa baru bernama KSDI yang dimulai beberapa tahun lalu. Saya menuliskan ini tidak untuk ‘mencemarkan nama baik’ UI. Saya hanya kuatir bahwa program ini sudah disalahgunakan, menjadi lahan korupsi dan  mengeksploitasi mahasiwa.

Ini bermula dengan nasib seorang mahasiswa dari Bengkulu, bernama David Wilkinson, di program Sarjana S-1 Reguler Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Ia dikenal pintar. Sejauh ini Indeks Prestasinya di UI bagus, dengan IPK 3,5. Di SMA dia pernah menjadi ketua OSIS.

David  adalah anak keluarga tak mampu (orangtuanya petani) yang masuk UI melalui program Kerja Sama  Daerah dan Industri (KSDI). Program KSDI adalah sebuah program penerimaan mahasiswa baru yang diperkenalkan UI sejak 2008.  

Kalau kita merujuk pada pernyataan Rektor UI, Gumilar Rusliwa S., program ini dicanangkan dengan niat ‘mulia’. Saya kutipkan pernyataan Rektor saat peresmian program April 2008 lalu. Dia bilang, salah satu persoalan yang dihadapi di tataran implementasi otonomi daerah adalah kelangkaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. "Anak-anak daerah yang diterima di UI pada umumnya enggan kembali ke daerahnya. Oleh karena itu, guna pemerataan SDM yang berkualitas, kita membuat kerja sama dengan daerah dan industri," katanya saat memberikan keterangan pers di Gerai Informasi dan Media Depdiknas, Jakarta, Jumat (11/04/08).

Mahasiswa yang terpilih harus memiliki prestasi tinggi. Calon mahasiswa adalah siswa peringkat kelas 1-10 dari semerster 1 s.d. 5; atau memiliki memiliki prestasi khusus di bidang yang sesuai dengan program yang dituju. Calon mahasiswa yang diterima di UI harus menandatangani kontrak dengan daerah atau industri yang bersangkutan, untuk kembali bekerja di daerah dan industri setelah lulus.

Saat itu, kata Gumilar, total propinsi yang mengikuti program KSDI adalah sebanyak 11 propinsi. Untuk wilayah kabupaten dan kota sebanyak 112 kota, sedangkan industri sebanyak 16 perusahaan. Jumlah penerimaan mahasiswa melalui KSDI ditentukan sebesar 20 persen dari seleksi nasional perguruan tinggi.

Sebenarnya sebagian pihak tak terlalu percaya bahwa tujuan utama KSDI adalah untuk membangun daerah. Milsanya saja, sejak awal orang sudah mempertanyakan, mengapa uang SPP peserta KSDI dibuat lebih mahal daripada mahasiswa biasa? Mahasiswa KSDI harus membayar Rp. 10 juta per semester, sementara mahasiswa jalur normal hanya harus membayar Rp. 5 juta per semester. Karena itu tak mengherankan bila sebagian pihak menganggap KSDI ini hanya salah satu cara UI menarik uang sebanyak-banyaknya dari mahasiswa, selain misalnya dengan mengembangkan program kelas Internasional yang SPPnya juga jauh lebih mahal.

Tapi keraguan semacam itu ditepis Rektor. Ia ketika itu dengan bangga menyatakan bahwa UI merupakan universitas pertama yang menjalankan program semacam ini di Indonesia. Dia berharap, dengan adanya program KSDI ini, UI akan menjadi motor bagi universitas lain untuk menjalin kerjasama-kerjasama dengan daerah dan industri.

David adalah salah seorang siswa berprestasi yang masuk melalui jalur itu. Kesalahan dia terbesar adalah teralu percaya pada Pemda Bengkulu dan UI.

Saat dia masuk UI, dia harus membayar sekitar Rp. 27 juta. SPP semester pertamanya sendiri memang ‘hanya’ Rp. 10 juta; tapi uang pangkal plus uang ini-itu mencapai Rp. 17 juta. Seharusnya tentu saja biaya itu ditanggung Pemda Bengkulu. Tapi oknum di Pemda bilang, uang itu belum ada sehingga harus dibayar dulu oleh keluarga David. Uang itu nantinya akan dibayar beberapa bulan kemudian. Saya tak tahu persis apakah David sempat melapor ke UI tentang masalah itu. Yang pasti, David akhirnya membayar Rp 27 juta setelah  orangtuanya pinjam kanan-kiri dan menjual kebun yang merupakan sumber penghasilan mereka.

Pemda menjanjikan uang itu akan dibayar di semester kedua. Ternyata yang turun di awal semester kedua adalah uang untuk SPP semester kedua sebesar Rp. 10 juta. Utang Pemda Rp 27 juta itu tak pernah dibayar sampai sekarang.
Pada semester ketiga, lagi-lagi uang SPP tak turun. Pada semester keempat, uang SPP turun tapi tak penuh. Dari Rp 10 juta, yang dikucurkan ke David hanya Rp. 7,5 juta.

Pada semester kelima, lagi-lagi di awal semester uang SPP tak turun. Kasus itu tercium oleh teman-teman David karena  dia hampir-hampir tak bisa melanjutkan kuliah. Ia sudah mati-matian mengumpulkan uang, tapi jumlahnya jauh dari Rp 10 juta. Akhirnya, di bawah koordinasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HMIK), berlangsunglah penggalangan dana. Uang itu terkumpul dan David bisa melanjutkan kuliah.

HMIK tak tinggal diam. Mereka melapor ke Rektorat, mereka melapor ke Fakultas. Jawaban penanggungjawab KSDI di rektorat sangat mengecewakan. Mereka tak mau terlibat karena menurut mereka selama ini uang pembayaran SPP David tidak pernah bermasalah. Bahkan ketika dikatakan HMIK bahwa uang itu bukan dari Pemda melainkan dari keluarga David yang sudah berutang kanan-kiri, menjual segala harta benda, atau David sendiri yang harus kerja keras bekerja serabutan di Jakarta, plus bantuan dari para mahasiswa, pihak rektorat tak peduli. Mereka bahkan tak mau berikirim surat ke Pemda Bengkulu

Pihak rektorat bahkan tak mau membantu agar David tak perlu membayar SPP sebesar peserta program KSDI lain yang jumlahnya mencapai Rp 10 juta. HMIK meminta agar David cukup membayar Rp 5 juta sebagaimana mahasiswa normal lain. Rektorat menolak karena David adalah mahasiswa peserta KSDI.

HMIK meminta agar David memperoleh bea siswa lain yang memang banyak tersedia di UI, rektorat menolak karena David dianggap sudah memperoleh bea siswa dari KSDI.

Karena menghadapi jalan buntu di Rektorat, HMIK menghubungi pihak Fakultas. Untunglah Dekan FISIP, Dr. Bambang Shergi bersedia mengirimkan surat ke Pemda Bengkulu. Langkah itu berhasil. Setelah sekian waktu, uang untuk biaya SPP semester lima itu diturunkan Pemda. David akhirnya bisa membayar sebagian pinjamannya.

Apakah cerita selesai? Tidak. Pertama-tama, Pemda Bengkulu sebenarnya masih berutang setidaknya Rp. 37 juta pada keluarga David (di awal kuliah Rp. 27 juta, untuk semester ketiga Rp. 10 juta). Kemanakah uang itu pergi? Keluarga David sendiri masih berutang pada banyak pihak. Kedua, tak ada jaminan bahwa pada semester keenam (yaitu sejak akhir Januari 2011), Pemda akan membayarkan SPP pada David.

Kisah David ini semula mungkin akan sirna dengan sendirinya, kalau saja tidak ada seorang mahasiswa S-1 Komunikasi UI yang menulis artikel mengenai David. Mahasiswa ini (bernama Mimi Silvia) sebenarnya menulis features untuk keperluan kuliah ‘Menulis Features’ yang diberikan oleh Dr. Zulharil Nasir. Ia tertarik dengan kisah David. Tulisan itu ia kirimkan ke harian Singgalang di Padang, kota tempat tinggalnya.

Mimi sebenarnya sudah menulis dengan sangat berhati-hati. Ia bahkan tidak menulis nama kota Bengkulu. Ia tidak mengatakan bahwa Pemda Bengkulu menggelapkan uang. Ia hanya menyatakan bahwa Pemda mengalami kesulitan dana. Ia tidak menulis soal UI. Ia menulis tentang kesulitan hidup David untuk bertahan di Jakarta. Sebuah features berisikan human-interest biasa. Tapi tulisan itu rupanya diforward ke banyak pihak, termasuk di jejaring Kaskus.

Nyatanya, tulisan itu sudah cukup membuat sebagian pihak marah besar. Bila dekan FISIP bersimpati dengan kasus David, tidak demikian halnya dengan Manajer Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni FISIP UI, Rissalwan Habdy Lubis, S. Sos, M. Si. Dia mengeluarkan surat berisikan rekomendasi pada Dekan untuk (saya kutip dari suratnya yang ia tembuskan ke Departemen ilmu Komunikasi)
  1. Memberi teguran keras kepada Mimi Silvia sebagai penulis artikel yang tidak menerapkan etika jurnalisme pemberitaan dua sisi
  2. Meminta Harian Singgalang … untuk memuat Hak Jawab yang akan diberikan pihak Universitas Indonesia sebagai institusi pendidikan yang sudah dicemarkan nama baiknya
  3. Meminta klarifikasi dari Dosen Mata Kuliah “Menulis Features” mengenai kasus ini.
Di luar itu, David dan Mimi sendiri dihubungi oleh beberapa pihak dari Rektorat atau Fakultas  untuk tak lagi menceritakan hal-hal yang negatif mengenai UI.

Pada titik ini, terlihat bahwa para pengelola pendidikan di UI, kecuali Dekan FISIP, nampaknya lebih peduli dengan  soal imej atau pemasukan uang ketimbang hal-hal substansial, seperti kemungkinan program KSDI menjadi lahan korupsi, penyalahgunaan KSDI atau nasib dan penderitaan mahasiswa UI sendiri.

Apalagi dengan munculnya kasus ini memang terungkap bahwa program KSDI ini sebenarnya jauh dari harapan muluk yang pernah dicanangkan Rektor. Meski untuk itu harus ada penelitian lebih lanjut, diduga banyak peserta KSDI bukanlah mahasiswa-mahasiswa berprestasi, melainkan para mahasiswa yang dekat dengan pejabat daerah atau mereka yang cukup kaya untuk membayar ke Pemda untuk memperoleh hak sebagai mahasiswa KSDI. Program ini diduga menjadi sangat diwarnai oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Jadi sangat mungkin bahwa bukan hanya David yang tidak dibayar beasiswanya. Masalahnya mungkin sekali yang lain itu memilih untuk diam karena merasa sudah beruntung bisa masuk UI atau karena memang sejak awal sudah bersepakat untuk tidak memperoleh beasiwa yang dijanjikan. Uang itu sendiri, mungkin sebenarnya sudah dianggarkan, tapi memang tidak mengalir ke bea siswa  mahasiswa.

David mungkin tidak sendirian. Hanya saja, yang lain mungkin tidak terdeteksi saja kasusnya ataupun enggan untuk bicara. Bagaimanapun, ada persoalan besar dengan program KSDI ini. Pertanyaannya: Apakah UI Peduli?

Saya kuatir, tidak.

* Tulisan ini adalah tulisan dari Bapak Ade Armando, salah seorang dosen Fakultas Komunikasi pada Universitas Indonesia (UI) yang saya kutip dari note beliau di facebook.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar