Kamis, 22 April 2010

Ajang Cari Jodoh yang Tidak Patut

Oleh Nina Muthmainnah Armando

Saat berdiskusi di dalam kelas, sejumlah mahasiswa saya menyebutkan acara “Take Me Out” dan “Take Him Out” sebagai acara yang tidak pantas untuk tampil di layar kaca. Saya setuju dengan mereka, karena susah sekali untuk tidak merasa masygul saat menyaksikan kedua acara ini.

“Take Me Out” dan “Take Him Out” ditayangkan Indosiar tiap Jumat dan Minggu malam. Kedua acara yang dapat dikatakan kembar ini adalah program cari jodoh. Selain tampil dua kali seminggu, Indosiar menampilkan tayang-ulangnya dua kali seminggu pula.

“Take Me Out” lahir lebih dulu di Indosiar sejak pertengahan tahun ini. Belakangan, muncul versi lainnya, yakni “Take Him Out”. “Take Me Out” merupakan yang pertama ditayangkan di Asia, setelah acara sejenis konon meraih sukses di Denmark, Spanyol, dan Belanda.

Pada acara ini, tampil seorang pria atau wanita (yang disyaratkan lajang berusia 20-40 tahun) mencari pasangan. Calon pasangan mereka adalah lawan jenis berjumlah sekitar 30 orang yang berdiri berderet di balik meja berlampu.

Begitu tampil, si pria atau wanita ini akan memperkenalkan dirinya. Biasanya, yang disebutkan adalah nama, usia, agama yang dianut, sifat atau karakter menonjol yang ingin ditampilkan, dan profesi. Selanjutnya, ia pun akan dipilih oleh ke-30 lawan jenis tadi. Para pemilih itu akan menyatakan pilihannya dengan cara tetap menghidupkan lampu berwarna kuning di mejanya. Jika tidak memilih, mereka akan memencet tombol, dan lampu di meja akan berganti warna menjadi merah diiringi bunyi “plop!”. Artinya, lampu di meja mereka padam dan mereka ”tak ada hati” dengan peserta yang ditampilkan.

Pada tahap selanjutnya, jika masih ada meja berlampu yang menyala, si peserta diminta memperkenalkan dirinya lebih lanjut. Perkenalan itu ditampilkan melalui sebuah rekaman tentang kegiatan sehari-hari orang tersebut. Berdasarkan ini, seleksi pun dilakukan kembali oleh orang-orang di balik meja berlampu. Kalau mereka “sreg”, mereka tetap menyalakan lampu. Jika tidak, maka lampu pun padam. Begitulah sampai akhirnya terpilih satu orang yang “berminat” dengan si peserta tersebut.

Yang terjadi tidaklah selalu kisah sukses. Ada beberapa peserta yang sejak awal sudah “gugur”, tak dipilih oleh satu orang pun. Semua orang memadamkan lampu untuknya. Maka peserta seperti ini harus pulang dengan tangan hampa, tak mendapat pasangan.

Mengapa seorang peserta tidak dipilih? Para pemilih yang 30 orang itu bisa sangat blak-blakan mengemukakan pendapatnya. Misalnya, ia tak terpilih karena botak, karena tampak kekanak-kanakan, karena terlalu tinggi atau sebaliknya terlalu pendek, karena suaranya jelek, karena tampak tua, karena tampak “jadul” alias kuno, dan lain-lain.

Di sinilah acara ini membuat masygul. Komentar-komentar semacam itu sungguh tak nyaman untuk kita lihat dan dengar dilontarkan di ruang publik. Siaran TV itu disaksikan penonton yang sangat banyak. Apakah pantas, hal-hal yang sifatnya sangat pribadi itu semacam itu ditampilkan di depan banyak orang?

Apalagi, acara ini juga tampaknya semata-mata menilai orang untuk menjadi pasangan hanya dari segi penampilan fisik (ketampanan atau kecantikan) dan kemapanan. Perempuan yang terpilih adalah mereka yang umumnya cantik dan seksi. Sementara pria yang terpilih umumnya adalah mereka yang relatif tampan dan mapan.

Sebagai contoh, salah satu peserta perempuan yang sedari awal tak terpilih oleh 30 pria adalah seorang perawat yang berusia sekitar 30 tahun, kalah cantik dan seksi dibandingkan peserta lainnya. Wanita ini tampak sederhana dan tidak terlalu langsing. Ini tampak kontras dengan peserta lainnya dalam episode yang sama, yang lebih muda dan tampil sensual dengan melenggak-lenggokkan tubuhnya a la tari perut.

Contoh lain, seorang guru pria yang tampak sederhana (ia ‘hanya’ bermodalkan sepeda) ditolak oleh para wanita sejak awal. Setelah tampil beberapa menit saja di acara itu, ia pulang dengan tangan hampa. Tak ada seorang perempuan pun mau dengannya.

Acara ini memberi pelajaran yang buruk bagi kaum muda: kriteria memilih jodoh adalah semata-mata segi fisik dan kemapanan secara ekonomi. Jika wajah atau tubuh tak bagus, atau jika miskin, jangan harap bisa “laku”.

Apalagi, penolakan itu disaksikan oleh berjuta mata. Duh, di manakah kesantunan itu? Di manakah asas kepatutan itu? Di manakah hati nurani?

Memang, orang-orang yang tampil menjadi peserta adalah orang-orang yang siap dengan segala risiko, siap untuk dipermalukan atau ditolak. Namun tetap saja, karena disajikan di ruang publik, di hadapan banyak orang, maka kesantunan dan kepatutan adalah hal yang harus sangat diperhatikan oleh pembuat acara.

Apalagi, segala hal itu menjadi tampak “sah” dengan adanya komentar dari Ustadz Restu Sugiarto, seorang ustadz yang mendapat julukan “Ustadz Cinta”. Aduh ampuun…. Sang ustadz dengan menyitir istilah-istilah agama Islam atau bahasa Arab tampak membenarkan segala yang tampil, mendorong orang untuk mengenal pasangannya dengan lebih dekat, dan menasehati. Ustadz ini memang diposisikan sebagai “penasihat cinta”.

Ustadz Cinta muncul pada Ramadhan tahun ini dan terus berlanjut setelah Lebaran. Entah sampai kapan ustadz ini akan tampil. Sebelumnya, yang menjadi penasihat cinta adalah Meike Roose, seorang fortune teller.

Seorang mahasiswa saya di kelas menyebutkan acara ini, “Enggak banget… Konyol dan memalukan!” Tidak hanya itu, acara ini juga berpotensi memberikan dampak buruk bagi kaum muda yang tidak kritis, yakni pembelajaran yang buruk untuk mencari pasangan serta berbicara buruk tentang orang lain di hadapan orang-orang lain yang sesungguhnya tidak patut.

Jangan biarkan anak remaja Anda menjadikan acara ini sebagai acara favoritnya. Kalau toh menontonnya sekali-kali, saya sangat sarankan Anda memberi masukan kritis kepada anak Anda tentang acara ini sekaligus memberitahunya tentang bagaimana mencari jodoh yang benar serta norma-norma kepantasan dan kepatutan.
sumber ; majalah ummi Edisi : No.7 Tahun XXI | Rubrik: Media dan Kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar