Kamis, 08 April 2010

Kisah Nahrowi, Tukang Sepuh Emas Selama 56 Tahun

Bisa Sekolahkan Tujuh Anak hingga SMA

Tukang sepuh emas, begitulah sebutan yang diterima Nahrowi. Salah seorang tukang sepuh emas yang sudah berjualan selama 56 tahun di pasar Tanjung Jember. Dia mengais rezeki dengan mengandalkan sepeda butut dan sekotak perlengkapan sepuh emas yang selalu ditentengnya.

Nur Fitriana Zuraidah, Jember

---

PENGAP dan bau busuk menyergap ketika menginjakkan kaki di bagian dalam Pasar Tanjung. Sampah-sampah bawang dan beberapa sayuran mengotori lantai pasar yang masih berupa tanah. Orang berlalu lalang melakukan aktivitasnya masing-masing.

Beberapa orang sibuk melakukan penawaran untuk membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Ada pula yang sekadar melakukan aktivitas minum kopi di warung-warung yang mangkal di bagian pojok-pojok tiap lantai pasar.

Terlihat satu orang sedang duduk di bangku panjang yang terletak di sudut lantai 2 pasar, sambil melakukan tawar-menawar dengan seorang ibu berumur kurang lebih 40 tahun.

Ibu tersebut rupanya sedang menawar gelang dari bahan mutiara imitasi berwarna putih dan sedikit berkilau, tampak beberapa rantai sudah sedikit kusam. Namun, kemudian transaksi itu berhenti tatkala sang bapak tua tak mau memberikan harga sesuai yang diinginkan ibu tersebut. Si ibu pun melenggang pergi.

Belakangan diketahui, bapak tua itu bernama Nahrowi. Dia memiliki kios kecil di sudut lantai dua pasar tanjung. Kios tersebut nyaris menjadi kios satu-satunya yang menyediakan jasa penyepuhan emas untuk perhiasan-perhiasan yang telah kusam atau juga yang ingin dinaikkan kadar emasnya. Dengan etalase sederhananya, Nahrowi menunggu pelanggan yang bisa saja datang, bisa juga tidak.

Usianya sudah kepala tujuh, namun badannya masih tampak kuat meski rambutnya sudah mulai memutih termakan usia. Mengenakan kaus oblong berwarna biru, Nahrowi menyesap teh hangat dari gelas kaca berukuran besar yang baru saja dipesannya dari warung terdekat.

Jam sudah menunjukkan pukul 10.30 dan Nahrowi belum juga mendapatkan satu pelanggan. Namun dia tak menyerah. Hari-hari yang sama pernah dilaluinya sebelumnya. Dia bahkan pernah tidak didatangi pelanggan selama seminggu penuh. Dengan penghasilan yang pas-pasan, hebatnya, Nahrowi tak pernah memiliki usaha sambilan lain. Sang istri pun hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki usaha sambilan untuk membantunya.

Pria sepuh asal Kota Pahlawan ini mengaku memulai usahanya pada usia 20 tahun. Dia hijrah ke Jember mengikuti istrinya yang asli Jember. Usaha tersebut dimulainya pada 1976 dengan modal 100 ml emas dengan kadar 99 persen dan sebotol kecil cairan pembersih emas atau biasa dia sebut dengan kaloa.

Awalnya, dia tak memiliki kios. Jangankan kios, ketika itu dia masih menawarkan jasanya di pinggir jalan namun tetap di area Pasar Tanjung. Di tahun tersebut, dia mengaku masih mempunyai banyak sekali saingan yang sudah terlebih dahulu mapan. Sekitar 16 orang penawar jasa penyepuh emas mengiringi langkahnya mengais rezeki. Namun, Nahrowi tak pernah menganggap mereka saingan atau musuh dalam mengais rezeki. Hal itu dipahaminya sebagai sebuah proses kehidupan.

Nahrowi akhirnya memiliki kios ketika memiliki rezeki yang lebih banyak di tahun ketiga dia menggeluti usahanya. Hal itu disebabkan karena banyaknya orang yang menyepuh perhiasannya untuk bersolek. Menurut dia, kultur yang ada di Jember mendukung untuk melariskan usaha yang digelutinya.

Setiap menjelang hari raya, orang seakan mempunyai dorongan untuk menyepuhkan emasnya, hingga Nahrowi dan beberapa kawannya memiliki banyak pelanggan hanya dalam satu hari.

Masa jaya itu terus berkelanjutan. Sebab, orang lebih memilih untuk menyepuhkan emasnya daripada harus membeli emas dengan harga yang cukup mahal ketika itu. Untuk sepasang anting yang berukuran kecil, Nahrowi hanya mematok harga Rp 5 ribu untuk menyepuh emas dalam kadar minimum. Sedangkan untuk kalung dengan panjang kurang lebih 60 cm, Nahrowi hanya mematok harga Rp 15 ribu.

Namun tak sedikit juga orang yang ingin menambah kadar emas perhiasannya menjadi lebih banyak. Kurang lebih setengah hingga 1 gram emas yang dimasukkan. Biasanya, jika sudah ada yang memintanya menyepuh emas dalam jumlah banyak, Nahrowi akan membuka kiosnya lebih lama dibandingkan biasanya. "Syukur-syukur jika dapat lebih banyak lagi kan lumayan," ungkapnya.

Banyak dari tukang penyepuh emas yang melakukan penipuan dengan mengatakan barang yang dijualnya terbuat dari perak. Atau bahkan ketika menyepuh mereka mencampurkan sesuatu untuk mengambil keuntungan lebih banyak. Namun, Nahrowi tak mau melakukannya. Dia takut banyak pelanggannya yang lari karena kebohongannya. "Saya ingin tetap jujur dalam berusaha. Saya takut kalau pelanggan saya lari karena kebohongan yang saya buat. Alhamdulillah tanpa itu, saya masih bisa mendapatkan rezeki," sahutnya.

Namun, masa-masa jaya itu ternyata lebih cepat usai karena zaman sudah berubah. Tepat pada 1980-an usaha jasa emas Nahrowi kalah dengan disediakannya emas muda yang harganya jauh lebih murah dan dijamin bisa dijual kembali.

Nahrowi kalah saing dengan banyaknya toko emas yang menyediakan berbagai perhiasan dengan emas muda. Namun, dia tetap bergeming. Kiosnya tetap dibuka seperti biasa sambil menunggu pelanggan datang untuk menyepuhkan emas.

Meski kawan-kawannya mulai tutup kios, Nahrowi tetap setia pada profesinya sebagai tukang sepuh emas. Hingga saat ini tujuh putranya sudah disekolahkan hingga SMA. Masing-masing dari mereka sudah bekerja.

Ada yang masih di Jember, namun banyak pula yang sudah pindah ke kota lain untuk mencari rezeki. Keempat anaknya tinggal di Jakarta dan hanya sesekali pulang untuk menengoknya.

Tinggal satu putranya yang masih sekolah. Namun dia tak lagi menyekolahkan karena anak tertua menampung adik bungsunya agar tak terlalu menambah beban sang Ayah. "Kadang anak-anak saya juga kirim uang untuk saya dan istri. Biaya hidup sehari-hari kadang juga menggunakan uang itu," katanya.

Tak ada alasan bagi Nahrowi untuk meninggalkan profesinya tersebut. Kini tinggal dia dan satu orang lagi penyepuh emas yang mangkal di sudut pasar yang berbeda. Kawan-kawannya yang lain tak lagi sabar untuk menyalakan kompor kecil sebagai alat untuk melelehkan cairan emas dengan pen 99 persen. Juga tak lagi sabar untuk menyolder satu persatu rantai yang putus dari sebuah kalung.

Namun, Nahrowi tetap setia pada pekerjaannya. Menyolder rantai kalung yang putus kemudian mencuci emas dengan koloa dan memanaskan emas di atas kompor kecil masih dilakukannya ketika ada pelanggan yang datang untuk memintanya menyepuhkan emas. "Saya masih akan terus bertahan dengan usaha ini sampai nanti saya tutup usia," pungkasnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar