Minggu, 11 April 2010

Dan Kartini pun Ikut Terjerat

KARTINI yang tinggal dalam keluarga poligami dibelenggu adat feodal terpaksa harus bertumbuh di tengah-tengah kecemburuan. Ya, kecemburuan istri tua pada selirnya atau sebaliknya, lebih mirip drama cinta segitiga layaknya kisah di sinetron masa kini. Gadis cilik seperti Kartini pun harus belajar menerima diskriminasi secara legawa.
Feodalisme saat itu yang mengajarkan begitu kuatnya perbedaan antara "rumah utama" dengan "rumah luar" tentu bukan hanya sebatas perkara jarak tempat Kartini kecil bermain dan berlari dari satu ruangan ke ruangan yang lain di dalam rumah ayahnya. Namun jarak itu telah bermakna mendalam, yaitu sebagai pembatas yang diciptakan oleh nenek moyangnya. Mau tak mau Kartini kecil harus 'manut' aturan main ini. Kartini pun rela dipisah dari ibu kandungnya dan dibesarkan ayah bersama ibu tirinya.
Apakah kerelaan Kartini terpisah dari ibunya lantaran Kartini begitu menghormati dan mencintai ayahnya? Dalam bukunya "Panggil Aku Kartini Saja", Pram menulis: "Orang yang tidak mungkin mau menyakiti hati ayahnya, sengaja atau tidak sengaja, tentulah tidak akan mengiklankan diri sebagai anak selir ataupun anak istri kesekian kepada orang lain, karena bagaimanapun garang ia membela ibunya, sebenarnya ia tidak lain daripada melawan ayahnya sendiri."
Benci sang ayah
Kecintaan sekaligus kebencian pada ayahnya yang berpoligami membawa Kartini pada pilihan akhir. Ya, ironis, ketidaksetujuannya terhadap poligami ayahnya malah membawa Kartini harus pula ikut-ikutan terjerat poligami. Keterpaksaan Kartini dipoligami mungkin sebagai penunjukan rasa hormat dan sayangnya yang teramat besar pada Ngasirah, ibu kandungnya.
Poligami, begitu kata Kartini, ya kata ini memang telah menjadi momok menakutkan bagi hampir sebagian kaum wanita, kaum saya. Terkesan pria dengan keegoisannya bisa melakukan apa saja untuk 'membeli' wanita, menikahinya meski siri demi menghalalkan nafsunya semata. Pemikiran ini telah ada di dalam benak Kartini, jauh sebelum saya lahir ke dunia. Dalam pikirnya, Kartini miris, kenapa kaumnya diperlakukan layaknya "boneka", barang mati yang boleh dipermainkan semaunya. Seakan-akan wanita bukan manusia yang hidup dan tak pernah ada harganya. Sungguh ini bukan pertanyaan yang mudah bagi gadis usia belasan tahun saat itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar