Selasa, 20 April 2010

Tidak ada relevansi antara pendidikan, karir, dengan kodrat kewanitaan

Kiprah Perempuan Masa Kini Pasca 106 Tahun Wafatnya RA Kartini

Sejak emansipasi wanita di negeri ini digaungkan RA Kartini sejak seratus enam tahun lalu, kesempatan bagi perempuan untuk meniti karir dan berkiprah, tak ada bedanya dengan kaum laki-laki. Sudah banyak perempuan bergelar doktor dan profesor, hingga menduduki posisi penting, baik di birokrasi, perusahaan, maupun bidang usaha lainnya. Salah satunya Profesor Endang Budi Trisusilowati. Siapa dia?

ELITA SITORINI, Jember

---

Pendidikan tinggi memang tidak hanya milik golongan tertentu. Semua orang di negeri ini, memiliki hak sama untuk mendapatkan. Apalagi, saat ini zaman sudah berubah. Akses pendidikan sangat mudah diraih.

Siapa saja yang berminat untuk mendapatkan pendidikan setinggi bintang di langit, bisa saja mengenyam pendidikan. Sehingga, tidak ada alasan lagi bagi generasi muda, khususnya perempuan untuk meraih pendidikan tinggi.

Hal itu sudah dibuktikan Profesor Endang Budi Trisusilowati. Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Jember yang pernah menjadi dekan di fakultas yang sama.

Selama ini, Prof Endang, begitu mahasiswa menyapanya, dikenal sebagai sosok yang tegas, memiliki banyak wawasan dalam bidang keilmuan, dan selalu menerapkan standar yang tinggi pada mahasiswanya.

Setiap mahasiswa yang menempuh mata kuliahnya, harus berupaya keras untuk mendapatkan nilai terbaik. Endang memang tidak mau main-main dalam urusan pendidikan. Dia berharap mahasiswanya tidak hanya sekadar mengerti mata kuliah yang dia berikan, namun juga memahami dan selalu berupaya menambah wawasan.

Diskusi-diskusi panjang dalam setiap konsultasi dengan mahasiswanya, menjadi bukti bahwa perempuan yang menempuh S-1 Pertanian di Unej ini, memberikan pelayanan yang maksimal. "Prof Endang selalu tuntas dalam setiap konsultasi. Semua hal dibahas, sehingga kami benar-benar mengerti," kata salah seorang mahasiswanya, yang baru keluar dari ruang kerjanya.

Dalam setiap konsultasi, Endang tidak asal memberi kritik, pertimbangan, maupun memberikan solusi. Semuanya selalu disertai dengan referensi yang jelas. Hal itu, sangat membantu mahasiswa, yang dia bimbing. Kecintaan Endang pada dunia pendidikan berawal dari lingkungan keluarganya.

Dilahirkan di sebuah keluarga dengan seorang ayah yang berprofesi sebagai seorang guru, Endang kecil terbiasa dengan kegiatan belajar dan mengajar.

"Ayah saya seorang guru dan sejak kecil, kami sekeluarga terbiasa belajar ilmu pengetahuan," katanya. Meski, di zaman dia bersekolah, Indonesia baru merdeka dan segala fasilitas masih sangat terbatas, Endang tidak pernah surut mencari ilmu.

Apalagi, dia juga mendapat dukungan dari keluarga untuk mencari ilmu setinggi mungkin. Tempaan hidup ditinggal sang ibu menghadap Tuhan, ketika duduk di bangku SMP, tidak membuatnya menyerah.

Bahkan, meski harus mengurus adik-adiknya, dia tetap memiliki kesempatan berorganisasi. "Ketika itu, saya masih belum sarjana, masih kuliah di sini (Unej). Tapi, ibu-ibu di sekitar rumah saya sudah mengikutsertakan saya sebagai pengurus PKK," kenangnya.

Memang bukan pengurus inti, namun kesempatan itu jelas memengaruhi cara berpikir dan wawasan hidup bermasyarakat. Termasuk mengajarinya menjadi pribadi yang tangguh, mampu beradaptasi, dan berkomunikasi dengan banyak orang yang memiliki beragam karakter.

"Saya senang berorganisasi, sejak SMP saya sudah masuk di organisasi kepemudaan. Bahkan, di zaman itu, anak SMP sudah mengikuti aktivitas perpolitikan," ceritanya.

Kesukaannya berorganisasi itu, dia lanjutkan hingga menjalani kuliah, baik di Unej, maupun di Institut Pertanian Bogor, ketika menyelesaikan gelar S-2 dan S-3. Bahkan, aktivitas sebagai dosen di Fakultas Pertanian, juga tidak menyurutkan semangatnya untuk aktif di berbagai organisasi.

"Sekarang ini sudah bukan zamannya perempuan hanya mengurus rumah tangga. Kalau urusan itu, harus dikerjakan bersama, antara suami dan istri," katanya. Kalau sampai saat ini masih ada yang berpikir seperti itu, maka kaum perempuan Indonesia tidak akan pernah maju. Karena hak untuk mendapatkan pendidikan itu milik siapa saja.

Apalagi, saat ini akses pendidikan cukup mudah diraih siapa saja. "Lihat saja di kampus-kampus, sekarang sudah banyak mahasiswinya. Malah lebih banyak daripada yang laki-laki," katanya.

Hal tersebut, kata dia, menjadi indikasi bahwa kaum perempuan dan masyarakat sudah menyadari pentingnya pendidikan bagi siapa saja. Terlepas dia laki-laki atau perempuan. Dan sudah bukan zamannya lagi mempermasalahkan kodrat sebagai wanita.

"Tidak ada relevansi antara pendidikan, karir, dengan kodrat kewanitaan. Menurut saya, kebanyakan wanita sudah menyadari meski mereka berpendidikan tinggi, memiliki karir yang maju, mereka tetap menikah dan punya anak. Jadi, kodrat wanita bukan alasan untuk tidak berpendidikan tinggi dan bekerja," jelas alumnus SMAN 1 Jember ini panjang lebar.

Justru, yang saat ini penting dilakukan, menurut dia, adalah meningkatkan kemampuan sikap dan perilaku mahasiswa atau yang biasa disebut soft skill. Sebab, jika hanya mengandalkan knowledge untuk sukses dalam hidup, dirasakan kurang mencukupi.

"Selain itu, jangan lupa life skill. Seperti kemampuan berbisnis, kemampuan di bidang seni, dan kemampuan lain di luar akademik," katanya. Dengan jalan itu, seorang sarjana akan semakin mantap menjalani hidup di masyarakat. (bersambung)
Sumber : Radar Jember, 20 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar