Kamis, 08 April 2010

Kartini Tetap Menganggapnya Dosa

BENARKAH nasib wanita ditentukan oleh pria?, dan bukannya sebaliknya, bahwa prialah yang seharusnya tertolong karena masih ada wanita yang bersedia dipoligami?
Inilah egoisme pria yang membuat Kartini pada jamannya saat itu telah menentang keras adanya poligami. Pada sahabat penanya di Belanda, Stella Zeehandelar, Kartini mengungkapkan ketidaksetujuannya itu.
Inilah percikan Katini saat itu: "Aku tidak akan pernah bisa mencintai. Bagiku, untuk mencintai, pertama kali kita harus bisa menghargai pasangan kita. Dan itu tidak kudapatkan dari seorang pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang lelaki yang sudah menikah dan sudah menjadi seorang ayah hanya karena ia sudah bosan dengan yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya? Ini sah menurut hukum Islam. Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan ataupun skandal. Hukum Islam mengizinkan laki-laki beristri empat sekaligus. Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebagai sebuah dosa,"

Mendobrak

Sungguh takjub, surat tertanggal 6 November 1899 itu telah lebih dari seabad yang lalu. Pengirimnya adalah Kartini, seorang puteri bangsawan Jepara yang hanya lulusan sekolah rendah di jaman kolonial. Dengan pemikirannya yang luar biasa ia ingin mendobrak segala kungkungan yang membelenggu kaum wanita, kaumnya.
Bagi Kartini, wanita yang dipoligami hanya akan lebih banyak mengalami kedukaan daripada mendapatkan kebahagiaan. Tak usah jauh-jauh mengambil contoh saat itu, Ibu kandungnya sendiri, Ngasirah adalah korban poligami. Harapan Ngasirah yang jelata dan berkesempatan menjadi istri Bupati demi mendapatkan kebahagiaan ternyata tak didapatkannya secara utuh.
Nasib Ngasirah yang terangkat naik ke kelas atas tak merubah apapun juga. Meski diperistri seorang bangsawan, statusnya tetaplah selir (istri muda), karena  R.M.A. Sosroningrat, ayah Kartini telah memiliki lebih dulu istri dengan empat orang anak.
Pada 21 April 1879, dari rahim Ngasirah, bayi Kartini terlahir ke dunia. Tidak jelas di mana Kartini dilahirkan. Dalam bukunya "Panggil Aku Kartini Saja" Pramoedya Ananta Toer meyakini Kartini lahir di gedung keasisten wedanaan, tempat tinggal ayahnya, meski mungkin bukan di rumah utama. Di sebuah rumah kecil di belakang rumah utama, di sanalah ibunya yang selir tinggal dan melahirkan Kartini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar